Dalil Karomah Dan Penjelasannya
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (bag. 1)
Oleh Tgk Alizar Usman
Ibnu al-Subki (w. 771 H) yang mempunyai nama lengkap Tajuddin Abd al-Wahab bin Taqiyuddin al-Subki merupakan salah satu dari sekian banyaknya ulama Ahlussunah wal Jama’ah yang menulis tulisan-tulisan yang mempertahankan pendapat bahwa karamat merupakan suatu hal yang mungkin terjadi pada syara’ dan pada alam nyata dan itu memang banyak terjadi pada tangan-tangan wali Allah dan orang-orang shaleh. Beliau ini seorang ulama besar Syafi’iyah dan ahli hadits yang mengikuti jejak sang ayah yang juga ulama besar dalam mazhab Syafi’i, Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H). Berikut ini penjelasan dan argumentasi Ibnu al-Subki mengenai keberadaan karamat aulia Allah menurut syari’at Nabi Muhammad SAW dan menurut hukum akal, yang kami saring dan pahami dari kitab beliau, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra,[1] yakni :
A. Syubhat-syubhat ‘aqliyah dan jawabannya yang dikemukakan oleh Ibnu al-Subki dalam kitabnya, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, yakni :
1. Kaum Qadariyah mengatakan, pembolehan adanya karamat akan mengakibatkan safsathah (istilah ilmu mantiq : argumentasi palsu seolah-olah benar), karena konsekwensinya membolehkan berubah gunung menjadi emas murni, berubah laut menjadi lautan darah dan berubah bejana-bejana yang disimpan di rumah manusia menjadi imam-imam yang mulia dan ilmuan yang cemerlang.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Karamat itu tidak sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain sebagaimana dipahami dari kalam al-Qusyairi.
2). Namun menurut yang dipahami dari imam-imam kita boleh karamat sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain, akan tetapi ini tidak mengakibatkan terjadinya safsathah, karena contoh-contoh yang disebutkan itu juga terjadi pada masa kenabian sebagai mu’jizat, nyatanya dhahir mu’jizat itu tidak mengakibatkan safsathah.
3). Kebolehan menurut akal bukan merupakan kesalahan dalam ilmu ‘adat (kebiasaan). Kebolehan karamat sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain merupakan kebolehan menurut akal. Karena itu, ia bukan merupakan kesalahan.
2. Kaum Qadariyah mengatakan, seandainya karamat boleh terjadi, maka sungguh karamat itu menyerupai mu’jizat. Ini tentu mengakibatkan mu’jizat tidak menjadi petunjuk kepada adanya kenabian.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Tidak dapat dikatakan karamat menyerupai dengan mu’jizat, karena mu’jizat selalu diiringi dengan dakwa kenabian, sedangkan karamat tidak seperti itu, bahkan karamat selalu disertai dengan mengikat diri kepada Nabi dan membenarkannya serta mempedomani jalan-jalannya.
2). Penjelasan mereka, bahwa mu’jizat menunjukkan kepada kebenaran Nabi dari sisi terjadi kejadian luar biasa, karena itu menyerupai karamat merupakan penjelasan yang salah. Karena semata-mata terjadi kejadian luar biasa tidak menunjukkan adanya kenabian, karena seandainya semata-mata terjadi kejadian luar biasa menunjukkan kepada kenabian, maka sungguh tanda-tanda kiamat wajib menunjuki atas adanya kenabian, sedangkan kita tahu bahwa tanda-tanda kiamat merusakkan tatanan kebiasaan. Lagi pula salah satu keajaiban yang luar biasa adalah penciptaan langit dan penciptaan makhluq pertama, akan tetapi keajaiban penciptaan tersebut tidak menunjuki kepada kenabian. Karena itu, jelaslah bahwa semata-mata terjadi kejadian luar biasa tidak menunjukkan adanya kenabian.
3). Dan juga orang yang terjadi mu’jizat atasnya itu wajib menyiarkan kepada orang lain, berbeda dengan karamat. Karamat justru terbangun atas menyembunyikannya dan ia tidak nampak kecuali nadir dan khusus, bukan kepada kalayak ramai dan umum.
4). Tidak dapat dikatakan karamat menyerupai dengan mu’jizat juga karena mu’jizat boleh terjadi pada semua kejadian luar biasa, berbeda dengan karamat yang khusus pada sebagian kejadian luar biasa berdasarkan pendapat al-Qusyairi di atas.
3. Kaum Qadariyah mengatakan, kalau boleh terjadi karamat, maka sungguh boleh menetap hukum dengan semata-semata dakwa orang karamat bahwa sesuatu benda merupakan miliknya tanpa ada saksi, karena dhahir derajatnya di sisi Allah Ta’ala yang tidak mungkin ia berdusta, tetapi ini bathil dengan ijmak kaum muslimin dan didukung pula ijmak ini oleh hadits Nabi SAW berbunyi :
البينة على المدعي واليمين على من انكر
ِArtinya : Kesaksian wajib atas orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya.
Ibnu al-Subki menjawab :
Karamat tidak mewajibkan makshum dan benar para wali dalam setiap perkara. Pernah Syeikh al-Thariqat Abu al-Qasim al-Junaid rhm ditanyai mungkinkah seorang wali berzina ? Beliau menjawab dengan Firman Allah berbunyi :
كان امر الله قدرا مقدورا
Artinya : Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (Q.S al-Ahzab : 38)
Kalaupun ada dhan (dugaan kuat) kebenaran para wali tersebut dalam hal apa yang didakwanya, namun syara’ sudah menetapkan jalan khusus dan aturan tertentu dalam menetapkan kebenaran sebuah dakwaan, yakni bukan dengan cara tanpa saksi, yang tidak boleh melangkahi dan berpaling darinya. Karena itu, banyak dhan-dhan yang tidak boleh diputuskan hukum dengan sebabnya, karena keluar dari ketentuan-ketentuan syara’.
4. Kesimpulan dari syubhat kaum Qadariyah yang satu ini adalah, apabila berulang-ulang atau sering terjadi kejadian luar biasa pada para wali, maka kejadian luar biasa itu menjadi kejadian yang biasa bagi para wali tersebut, cuma kejadian yang biasa bagi mereka berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan pada orang lain umumnya. Karena itu, seandainya muncul Nabi pada zaman mereka ini, maka kejadian-kejadian yang sudah menjadi biasa bagi mereka ini akan menutup cara menganalisa kebenaran sebuah mu’jizat. Ini ditambah lagi, seandainya boleh muncul kejadian luar biasa pada seorang yang shaleh, maka tentunya juga boleh terjadi kejadian yang sama pada orang shaleh yang lain sehingga dalam jumlah yang banyak, karena tidak ada kekhususan pada jumlah tertentu. Alhasil, maka tersembunyilah berita kenabian sama sekali.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Sebagian dari para imam-imam kita berpendapat tidak boleh terjadi karamat secara berulang-ulang dalam kejadian yang sama yang mengakibatkan kejadian itu dihukum sebagai kejadian yang biasa terjadi. Apabila kita memegang pendapat ini, maka tertolaklah syubhat mereka. Bahkan ada sebagian ahli tahqiq yang mengatakan, tidak boleh tergambar dalam pikiran kita ada mu’jizat yang terjadi pada para Nabi secara berulang-ulang dalam kejadian yang sama apabila ini dapat menyebabkan mu’jizat menjadi sebuah hal yang biasa terjadi. Syubhat ini tidak menjadi dalil dalam menolak ketetapan adanya asal karamat, tetapi hanya pada karamat-karamat yang sering atau berulang-ulang terjadi dalam kejadian yang sama sehingga dapat dianggap sebagai suatu kejadian yang biasa.
2). Sebagian dari imam-imam kita berpendapat boleh terjadi karamat secara berulang-ulang, tetapi tersembunyi dalam arti tidak dhahir dan tidak tersebar sehingga tidak dianggap orang sebagai kejadian yang biasa. Karena itu, kejadian yang berulang-ulang itu tidak mengeluarkan karamat itu sebagai karamat dalam pandangan umum manusia
3). Imam-imam tersebut mengatakan, seandainyapun karamat para wali itu terjadi secara berulang-ulang sehingga kejadian itu menjadi suatu yang biasa dan hal yang lumrah dalam pandangan manusia, maka hal itupun tidak mengakibat tidak mendapatkan jalan yang terpetunjuk dan jalan lurus untuk mengenali mu’jizat ketika muncul mu’jizat, apabila para wali itu mendapat taufiq dari Allah Ta’ala dan dengan sebab itu, para wali itu dengan anugerah taufiq dari-Nya akan mengikat diri dengan seorang nabi dan mengikutinya apabila muncul mu’jizat pada tangannya serta akan mengatakan kepada khalayak manusia, : “Hai manusia, ini nabi Allah, maka ta’atlah dia dan sesungguhnya aku adalah orang pertama yang patuh dan beriman dengannya”. Dan apabila tidak mendapat taufiq-Nya, maka orang itu bukanlah wali berdasarkan pendapat yang tahqiq.
4). Lagi pula ada jalan lain untuk membedakan karamat yang berulang-ulang terjadi dengan mu’jizat, yakni mu’jizat muncul dan tersebar pada khlayak ramai manusia dan disertai dengan dakwa kenabian. Karena itu, apabila adanya perbedaan antara karamat dengan mu’jizat, maka tidak menutup jalan untuk mengenal seorang nabi.
5). Syubhat yang didatangkan kaum Qadariyah di atas adalah apabila karamat itu terjadi sebelum munculnya nabi penutup segala nabi. Adapun apabila karamat itu datang sesudah munculnya nabi penutup segala nabi, maka tentu tidak ada pembahasan lagi tentang kemungkinan muncul nabi sesudah nabi penutup segala nabi, sehingga syubhat tersebut tidak relevan dikemukakan dalam konteks karamat umat Nabi Muhammad SAW nabi akhir zaman.
5. Kaum Qadariyah mengatakan, seandainya karamat itu ada dasarnya, maka sesungguhnya yang paling layak bersifat dengan karamat adalah umat Islam generasi pertama (sahabat Nabi SAW), karena mereka merupakan umat pilihan dan yang paling utama sesudah para anbiya ‘alaihissalam. Tetapinya nyatanya merupakan suatu yang populer bahwa tidak ada riwayat dari mereka adanya karamat itu.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Kalau dikatakan tidak ada sama sekali terjadi karamat pada generasi pertama, maka ini sesungguhnya merupakan perkataan yang keji dan tertolak. Tetapi kalau memang ada upaya mencari dengan sungguh-sunnguh kejadian-kejadian karamat para sahabat Nabi, maka akan kita dapati meskipun tidak sampai 1 persen.
2). Ketahuilah bahwa karamat yang terjadi pada tangan sahabat atau para wali ataupun yang terjadi sampai pada hari bertemu manusia dengan tuhannya (hari kiamat) adalah merupakan mu’jizat bagi Nabi SAW. Karena yang bersifat dengan karamat itu, mencapai karunia karamat tersebut dengan sebab mengikuti Nabi SAW dan pengakuan bahwa Nabi SAW merupakan makhluq Allah yang utama dan pilihan serta penghulu segala makhluq. Hikmah inilah yang patut menjadi sebab secara global dan umum dalam memunculkan karamat, lebih-lebih lagi pada masa sahabat Nabi SAW. Karena orang-orang kafir manakala melihat munculnya kejadian-kejadian luar biasa pada tangan para sahabat, maka orang-orang kafir itu akan segera beriman dengan Nabi mereka dan mengetahui bahwa para sahabat Nabi itu berada dalam kebenaran.
3). Untuk membuktikan ada terjadinya karamat pada generasi sahabat Nabi SAW, Ibnu al-Subki kemudian mengutip riwayat-riwayat yang menjelaskan adanya terjadi karamat pada tangan sahabat Nabi SAW, yakni antara lain beberapa kejadian karamat yang terjadi pada Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abbas paman Nabi, Ibnu Umar, Ali Yadd al-‘Ula bin al-Hazhrami, Salman, Abi Darda’, Imaran bin Hushain dan Khalid bin Walid.
4). Seandainya ada pertanyaan, kenapa karamat pada tangan sahabat kurang terjadi kalau dibandingkan riwayat-riwayat ada karamat-karamat yang terjadi pada masa sesudah mereka. Ibnu al-Subki menjawab dengan beberapa argumentasi, yakni :
`a). Ahmad bin Hanbal pernah ditanyai mengenai ini, beliau menjawab bahwa keadaan iman para sahabat nabi sangat kuat, maka mereka tidak membutuhkan karamat untuk lebih menguatkan iman mereka, sedangkan selain mereka lemah sehingga membutuhkan muncul karamat untuk menguatkannya.
b).Hampir sama dengan ucapan Ahmad bin Hanbal adalah apa yang dikemukakan oleh Syeikh al-Suhrawardi, yakni kejadian luar biasa hanya dapat menjadi sebab terbuka hijab (kasyaf) bagi orang-orang yang lemah keyakinan kasyaf, sedangkan di atas derajat mereka ada kaum yang memang sudah mencapai terbuka hijab dari hati mereka. Karena itu, tentunya mereka tidak membutuhkan kejadian-kejadian luar biasa itu.
c). Atau penjelasan yang lain, yakni apa yang ada pada sahabat Nabi SAW berupa bertemu langsung dengan Nabi pilihan dan selalu dalam jalan istiqamah serta dibukakan kehinaan dunia bagi hati mereka adalah merupakan sebesar-besarnya karamat. Karena itu, dunia pada tangan mereka merupakan selemah-lemah karunia yang ada pada tangan ahli agama. Dengan sebab itu dipalingkan hal tersebut dari mereka. Inilah sebesar-besar karamat dan tidak ada kerinduan dalam hati mereka kecuali meninggikan kalimat Allah dan berdoa keharibaan Allah Azza wa Jalla.
Bersambung..
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (bag. 2)
[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 316-344.
====
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (Bag. 2)
Oleh Tgk Alizar Usman
B. Dalil syara’ atas adanya karamat para aulia
Setelah memafarkan dalil ‘aqliah untuk menolak kemustahilan karamat pada akal menurut kaum Qadariah, Ibnu al-Subki menyebutkan dalil-dalil syara’ yang membenarkan adanya karamat,[1] yakni sebagai berikut :
1. Berita mengenai berbagai dan beragam karamat yang dialami oleh para ulama dan orang shaleh merupakan sebuah berita yang sangat populer dan masyhur yang tidak mungkin diingkari kecuali oleh orang-orang bodoh dan keras kepala. Berita tersebut sudah menyerupai berita tentang keberanian Ali bin Abi Thalib dan kedermawanan Hatim dikalangan orang Arab. Karena itu, pengingkaran adanya karamat merupakan suatu yang sangat beresiko, karena sangat nyata dan populernya adanya kejadian karamat itu, tidak mengingkarinya dengan keras kecuali orang-orang yang sudah dibutakan Allah mata hatinya.
2. Kisah Maryam a.s. hamil tanpa suami, beliau mendapatkan buah kurma segar dari pohonnya yang kering dan terhidang makananan untuk beliau tanpa diketahui asalnya, Allah berfirman :
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
Artinya : Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah.”(Q.S. Ali Imran :37)
dan firman-Nya :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Artinya : Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. (Q.S. Maryam :25)
Padahal sudah disepakati bahwa Maryam bukanlah seorang nabi, karena beliau adalah seorang wanita. Seandainya ada yang bertanya, bukankah kejadian luar biasa itu bisa jadi merupakan mu’jizat Nabi Zakaria a.s. atau merupakan irhash (kejadian luar biasa sebagai petunjuk akan muncul seorang rasul) bagi kemunculan anaknya, Isa a.s. sebagai rasul, maka jawabannya :
1). Kejadian-kejadian luar biasa ini bukanlah merupakan mu’jizat Nabi Zakaria a.s., karena mu’jizat haruslah disaksikan oleh oleh khalayak ramai supaya menjadi dalil atas kenabiannya, padahal kejadian mendapatkan buah kurma segar dari pohonnya yang kering oleh Maryam tidak disaksikan oleh seorang manusiapun. Dalilnya Allah Ta’ala berfirman dalam ayat selanjutnya, berbunyi :
فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
Artinya : Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah,” (Q.S. Maryam :26)
Dalam hal terhidang makananan untuk Maryam a.s., Nabi Zakaria a.s. tidak mengetahui perihal asal-usul kehadiran makanan tersebut. Karena itu, Nabi Zakaria a.s. Bertanya, "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?.sedangkan mu’jizat itu haruslah merupakan permintaan seorang Rasul. Dengan demikian, kejadianterhidang makanan untuk Maryam a.s. bukanlah mu’jizat bagi Nabi Zakaria a.s. Lagi pula konteks ayat ini untuk ta’dhim kepada Maryam, maka tidak relevan pemahaman kejadian-kejadian luar biasa tersebut untuk memuliakan orang lain.
2). Kejadian luar biasa ini juga bukanlah merupakan irhash bagi kemunculan Nabi Isa a.s., karenairhash khusus terjadi pada tangan Rasul itu sendiri sebelum muncul kerasulannya dalam bentuk kemulian-kemulian. Lagi pula seandainya boleh kejadian luar biasa ini merupakan irhash bagi kemunculan Nabi Isa a.s., maka sungguh dimungkinkan setiap mu’jizat yang terjadi pada orang yang mendakwakan diri sebagai nabi merupakan irhash bagi nabi lain yang akan muncul sesudahnya, bukan sebagai mu’jizat. Maka kebolehan kemungkinan ini akan menyebabkan tertutup bab berdalil dengan mu’jizat atas sebuah kenabian.
3). Mendekati pemahaman kisah Maryam ini dengan kisah ibu Musa a.s., dimana Allah mengilhamnya menghanyutkan anaknya dalam sungai. Imam al-Haramain mengatakan, tidak seorangpun dari ahli-ahli sejarah dan pengutip-pengutip kisah yang menyebutkan bahwa ibu Musa a.s merupakan seorang nabi.
3. Berpedoman kepada kisah pemuda Ashabul Kahfi. Mereka tertidur selama tiga ratus tahun lebih dalam keadaan hidup, tidak kekurangan apapun tanpa makan dan minum. Ini merupakan kejadian luar biasa, tetapi ini bukan mu’jizat, karena mereka bukan nabi. Imam al-Haramain mengatakan, disepakati semua umat Islam bahwa para pemuda Ashabul Kahfi itu bukanlah nabi, mereka hanya beragama dengan agama raja zaman penyembah berhala, tetapi kemudian Allah memberi hidayah kepada mereka sehingga terbuka hati mereka untuk memeluk agama yang diredhai Allah Ta’ala. Hidayah mereka ini bukan datang karena dakwah dari seorang pendakwah, tetapi dengan berpikir dan merenung sehingga muncullah pemikiran dan keyakinan beriman kepada pencipta langit dan bumi serta pencipta sekalian alam ini. Dan tidaklah mungkin dikatakan kejadian luar biasa ini sebagai mu’jizat bagi nabi lain. Hal ini karena sebagai berikut :
1). Mereka menyembunyikan kejadian itu. Hal ini berdasarkan firman allah berbunyi :
وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Artinya : Janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.(Q.S. al-Kahfi :19)
Sedangkan mu’jizat tidak mungkin disembunyikannya.
2). Mu’jizat wajib diketahui oleh manusia lain. Keadaan mereka yang menetap dalam keadaan tidur begitu lama tidak memungkinkan orang-orang mengetahuinya, karena manusia selain mereka tidak melihatnya. Karena itu, para manusia tidak mengetahuinya kecuali dengan pemberitahuan dari mereka sendiri (ini seandainya shahih bahwa manusia-manusia mengetahuinya). Sedangkan pemberitahuan dari mereka hanya berpaedah apabila perkataan mereka dianggap benar oleh manusia-manusia ketika itu dengan datang dalil lain, sedangkan dalil lain tidak ada ketika itu. Adapun menetapkan keadaan mereka adalah benar dengan sebab kejadian lama tertidur itu sendiri, akan menyebabkan duur (Duur adalah keadan dua hal yang saling bergantung dalam hal pendalilian) yang mustahil pada akal. Karena kejadian lama tertidur hanya bisa diterima kebenarannya apabila telah diterima bahwa mereka benar. Dengan demikian, seandainya benar mereka ini tergantung kepada kejadian lama tertidur mereka, maka akan terjadiduur.
3). Seandainya kejadian luar biasa ini sebagai mu’jizat bagi nabi lain, sedangkan penyebutan nama nabi lain itu tidak ada dan juga tidak dalil yang menunjukinya, maka penetapan ada mu’jizat bagi nabi itu tidak ada paedahnya, karena faedah mu’jizat untuk membenarkan kenabian seseorang, sedangkan membenarkan seseorang yang tidak jelas adalah mustahil.
4. Berpedoman dengan kisah-kisah kejadian luar biasa lainnya yang banyak sekali terjadi di dunia ini dari zaman dahulu sampai dengan sekarang ini. Misalnya kisah Ashif bin Barqia bersama Nabi Sulaiman, dimana Ashif bin Barqia mampu membawa istana Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman dalam sekali kedipan matanya berdasarkan penafsiran kebanyakan ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan ‘orang yang di sisinya ada ilmu tentang kitab” adalah Ashif bin Barqia. Demikian juga kisah-kisah kejadian luar biasa yang terjadi pada Sahabat Nabi yang sudah terdahulu disebutkan, serta kisah-kisah yang mutawatir periwayatannya, yakni kisah-kisah kejadian luar biasa yang terjadi pada ulama-ulama shaleh yang hidup sesudah Sahabat Nabi. Kisah-kisah kejadian ini tidak terhingga jumlahnya.
5. Anugerah ilmu kepada para ulama ini ummat dan orang-orang shaleh, sehingga mereka mampu berkarya mengarang kitab-kitab yang banyak, dimana selain mereka tidak mampu menyalinnya sebanyak itu dalam jangka batas umur pengarangnya, sementara isi kitab tersebut mengandung keajaiban-keajaiban yang tidak ada batasnya, istimbath-istimbath yang digemari oleh orang-orang berakal dan makna-makna yang dikeluarkan dari al-Kitab dan al-Sunnah, mentahqiqkan kebenaran dan membatalkan kebathilan serta kesabaran-kesabaran dalam mujahadah, riyadhah, mengajak kepada kenaran dan juga sabar dari segala rintangan-rintangan serta menjauhi dari segala kelazatan dunia dan lain-lain yang menggambarkan bahwa semua itu merupakan anugrah Allah yang tidak didapati oleh manusia pada umumnya. Karena itu, kejadian-kejadian seperti ini tidak boleh tidak, tentu harus diyakini sebagai karamat yang diberikan Allah kepada hamba pilihannya.
Bersambung ke bag.3
Karamat para aulia menurut Ibnu al-Subki (bag. 1)
Karamat para aulia menurut ibn al-Subki (Bag. 3)
[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 334-337
====
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (Bag. 3)
Oleh Tgk Alizar Usman
C. Macam-Macam Jenis Karamat
Ibnu al-Subki menyebutkan beberapa jenis karamat, antara lain :
1. Menghidupkan orang mati.
Beliau menyebut beberapa contohnya, salah satunya adalah berdasarkan riwayat shahih, yang mengisahkan kejadian yang dialami Abu ‘Ubaid al-Busri ketika berperang, bersamanya ada seekor hewan tunggangannya tetapi kemudian mati. Lalu beliau berdo’a kepada Allah Ta’ala supaya dihidupkan kembali, supaya bisa pulang ke kampung halamannya dengan menunggang hewan tersebut. Tanpa diduga, hewan itupun hidup dan berdiri, namun tanpa dua telinganya. Begitu selesai perang dan beliau sampai ke kampung halamannya, beliau memerintahkan pembantunya untuk mengambil pelana dari hewan tersebut, begitu pelana itu diambil, hewan itupun tersungkur dalam keadaan mati.
Namun pada Akhir penyebutan kisah-kisah aulia Allah menghidupkan kembali orang mati, beliau mengatakan tidak ada riwayat yang shahih yang mengisahkan seorang aulia Allah dihidupkan baginya seorang yang sudah mati dalam waktu yang lama sehingga tulangnya diperkirakan sudah hancur, tetapi kemudian bisa hidup dalam waktu yang lama juga. Namun menurut beliau ini tidak diragukan, mungkin saja terjadi pada seorang nabi sebagai mu’jizatnya.
2. Berbicara orang mati
Ini banyak contoh kisah-kisahnya seperti yang diriwayat tentang kisah yang terjadi pada Abu Sai’d al-Kharazi, Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan lain-lain.
3. Terbelah laut atau kering laut dan dapat berjalan atas air
Contohnya banyak, diantaranya kisah yang dialami oleh Syeikh Islam Taqiyuddin Ibn Daqiq al-Id.
4. Berubah suatu benda kepada bentuk lain.
Sebagaimana dikisahkan Syeikh Isa al-Hitar, pernah seseorang mengirim kepadanya dua tempayan penuh dengan khamar untuk memperolok-oloknya. Namun Syeikh Isa al-Hitar menuangkan isi salah satunya kepada tempayan yang Lain, kemudian beliau mengatakan kepada yang hadir ketika itu, “Bismillah, makanlah.” Maka merekapun makan, karena seketika itu juga khamar tersebut menjadi mentega, yang harum dan warnanya tidak pernah dilihat sama dengannya.
5. Mengerucut bumi
Dihikayahkan sebagian aulia di Jami’ Tharasus kepingin berziarah ke Masjidilharam, maka aulia itu memasukkan kepada dalam jubbahnya, ketika dikeluarkannya, beliau itu sudah berada di masjidilharam. Ibnu al-Subki mengatakan kisah-kisah seperti ini mencapai qadar jumlah mutawatir yang tidak mungkin mengingkarinya kecuali orang keras kepala.
6. Berbicara benda mati atau hewan
Tidak diragukan lagi, ini banyak terjadi. Contohnya kisah Ibrahim bin Adham lagi duduk di bawah pohon delima di Baitul Muqaddis, tiba-tiba pohon kurma itu berbicara sampai tiga kali, ”Hai, Abu Ishaq, muliakanlah aku dengan memakan sesuatu dariku”. Pohon kurma itu rendah dan rasanya asam. begitu setelah delima itu dimakan Ibrahim bin Adham, pohonnya tiba menjadi tinggi dan rasanya menjadi manis serta berbuah dua kali dalam setahun. Kemudian orang-orang menamakan kurma itu kurma orang ‘abid.
7. Dapat menyembuh orang sakit
Sebagaimana dikisahkan Syeikh Abd al-Qadir Al-Jailani bertemu dengan seorang anak kecil yang tidak bisa berjalan, pakaiannya kotor, buta dan berpenyakit kusta. Abd Al-Qadir al-Jailani mengatakan kepadanya, “Berdirilah dengan izin Allah” maka anak itupun berdiri dan penyakitnya hilang semua.
8. Patuh binatang-binatang dan benda mati
Sebagai kisah yang terjadi pada Abi Sa’id bin Abi al-Khair al-Maihani bersama seekor singa dan kisah Ibrahim al-Khawas mencium singa. Bahkan patuh benda mati sebagaimana kisah yang terjadi pada Syeikh Islam ‘Izzuddin bin Abdussalam
9. Menyingkatkan waktu
10. Dan memanjang waktu
Ibnu al-Subki mengatakan, dua bentuk karamat ini sukar dipahami, tetapi kisah-kisahnya banyak terjadi. Karena itu, menyerahkan kepada ahlinya lebih baik untuk orang yang mengimaninya.
11. Istijabah do’a
Ini banyak sekali. Ibnu al-Subki mengatakan, kami sering menyaksikannya.
12. Tertahan lidah dari berkalam dan kefasihan berkalam
13. Ketertarikan sebagian hati manusia dalam suatu majelis yang awalnya penuh kebencian
14. Memberitahukan sebagian yang ghaib dan kasyaf
15. Mampu tidak makan dan minum dalam waktu yang lama
16. Maqam al-tasrif (merubah keadaan alam), seperti sebagian wali yang menjual hujan
17. Mampu mendapati banyak makanan
18. Terpelihara dari makanan yang haram
Sebagaimana dihikayahkan bahwa al-Harits al-Hasibi terangkat ke hidungnya desahan makanan haram sehingga ia tahu makanan tersebut adalah haram dan tidak memakannya
19. Terlihat tempat yang jauh dibelakang hijab
Sebagaimana dikatakan bahwa Syeikh Abu Ishaq al-Syairazi dapat melihat Ka’bah, padahal beliau berada di Baghdad.
20. Memunculkan ketakutan yang luar biasa sehingga dapat membuat mati dengan semata-mata melihatnya.
Kisah ini pernah dialami oleh teman Abu Yazid al-Bustami
21. Allah Ta’ala memelihara para aulia Allah dari kejahatan yang direncanakan orang terhadapnya dan berubah menjadi kebaikan
Ini sebagaimana pernah terjadi kisah Imam Syafi’i r.a bersama Harun al-Rasyid.
22. Berubah dengan bentuk yang berbeda-beda
Ini apa yang disebut oleh kalangan sufí sebagai alam mitsal. Alam mitsal itu alam antara alam ajsam dan alam arwah, lebih halus dari alam ajsam dan lebih kasat dari alam arwah. Berdasarkan ini, pada alam mitsal, arwah dapat berjasad dan berbentuk dalam bentuk yang berbeda. Menurut kaum sufí ini sesuai dengan firman Allah berbunyi :
فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
Artinya : Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.(Q.S. Maryam : 17)
Contohnya, kisah al-Qazhib al-Ban al-Maushily (beliau termasuk salah seorang abdal), beliau pernah dituduh meninggalkan shalat oleh orang yang tidak pernah melihat beliau shalat dan orang itu sangat bersikeras bahwa beliau tidak shalat. Pada ketika itu, al-Maushily menjelma dalam beberapa bentuk yang berbeda, beliau bertanya kepada orang yang menuduh beliau tersebut, “Dalam bentuk mana kamu melihat aku tidak shalat?”.
23. Mengetahui yang tersimpan dalam bumi
24. Kemudahan dalam mengarang kitab-kitab pada waktu yang singkat.
Sebagaimana Imam Syafi’i, seandainya dihitung umur beliau yang pendek itu, maka dhahirnya tidak mencukupi waktunya untuk mengarang sepersepuluh dari karya-karya beliau. Belum lagi berdasarkan riwayat yang shahih bahwa beliau membaca al-Qur’an sekali khatam dengan memikirkan maknanya dalam setiap hari dan dua kali khatam dalam setiap hari pada bulan Ramadhan, kesibukan mengajar, zikir, berpikir dan sakit. Ibnu al-Subki mengatakan ini termasuk dalam katagori jenis karamat memanjang waktu (nasyr al-zaman).
25. Tidak mempan racun dan yang membinasakan lainnya.[1]
[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 337-344
.
Oleh Tgk Alizar Usman
Ibnu al-Subki (w. 771 H) yang mempunyai nama lengkap Tajuddin Abd al-Wahab bin Taqiyuddin al-Subki merupakan salah satu dari sekian banyaknya ulama Ahlussunah wal Jama’ah yang menulis tulisan-tulisan yang mempertahankan pendapat bahwa karamat merupakan suatu hal yang mungkin terjadi pada syara’ dan pada alam nyata dan itu memang banyak terjadi pada tangan-tangan wali Allah dan orang-orang shaleh. Beliau ini seorang ulama besar Syafi’iyah dan ahli hadits yang mengikuti jejak sang ayah yang juga ulama besar dalam mazhab Syafi’i, Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H). Berikut ini penjelasan dan argumentasi Ibnu al-Subki mengenai keberadaan karamat aulia Allah menurut syari’at Nabi Muhammad SAW dan menurut hukum akal, yang kami saring dan pahami dari kitab beliau, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra,[1] yakni :
A. Syubhat-syubhat ‘aqliyah dan jawabannya yang dikemukakan oleh Ibnu al-Subki dalam kitabnya, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, yakni :
1. Kaum Qadariyah mengatakan, pembolehan adanya karamat akan mengakibatkan safsathah (istilah ilmu mantiq : argumentasi palsu seolah-olah benar), karena konsekwensinya membolehkan berubah gunung menjadi emas murni, berubah laut menjadi lautan darah dan berubah bejana-bejana yang disimpan di rumah manusia menjadi imam-imam yang mulia dan ilmuan yang cemerlang.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Karamat itu tidak sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain sebagaimana dipahami dari kalam al-Qusyairi.
2). Namun menurut yang dipahami dari imam-imam kita boleh karamat sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain, akan tetapi ini tidak mengakibatkan terjadinya safsathah, karena contoh-contoh yang disebutkan itu juga terjadi pada masa kenabian sebagai mu’jizat, nyatanya dhahir mu’jizat itu tidak mengakibatkan safsathah.
3). Kebolehan menurut akal bukan merupakan kesalahan dalam ilmu ‘adat (kebiasaan). Kebolehan karamat sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain merupakan kebolehan menurut akal. Karena itu, ia bukan merupakan kesalahan.
2. Kaum Qadariyah mengatakan, seandainya karamat boleh terjadi, maka sungguh karamat itu menyerupai mu’jizat. Ini tentu mengakibatkan mu’jizat tidak menjadi petunjuk kepada adanya kenabian.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Tidak dapat dikatakan karamat menyerupai dengan mu’jizat, karena mu’jizat selalu diiringi dengan dakwa kenabian, sedangkan karamat tidak seperti itu, bahkan karamat selalu disertai dengan mengikat diri kepada Nabi dan membenarkannya serta mempedomani jalan-jalannya.
2). Penjelasan mereka, bahwa mu’jizat menunjukkan kepada kebenaran Nabi dari sisi terjadi kejadian luar biasa, karena itu menyerupai karamat merupakan penjelasan yang salah. Karena semata-mata terjadi kejadian luar biasa tidak menunjukkan adanya kenabian, karena seandainya semata-mata terjadi kejadian luar biasa menunjukkan kepada kenabian, maka sungguh tanda-tanda kiamat wajib menunjuki atas adanya kenabian, sedangkan kita tahu bahwa tanda-tanda kiamat merusakkan tatanan kebiasaan. Lagi pula salah satu keajaiban yang luar biasa adalah penciptaan langit dan penciptaan makhluq pertama, akan tetapi keajaiban penciptaan tersebut tidak menunjuki kepada kenabian. Karena itu, jelaslah bahwa semata-mata terjadi kejadian luar biasa tidak menunjukkan adanya kenabian.
3). Dan juga orang yang terjadi mu’jizat atasnya itu wajib menyiarkan kepada orang lain, berbeda dengan karamat. Karamat justru terbangun atas menyembunyikannya dan ia tidak nampak kecuali nadir dan khusus, bukan kepada kalayak ramai dan umum.
4). Tidak dapat dikatakan karamat menyerupai dengan mu’jizat juga karena mu’jizat boleh terjadi pada semua kejadian luar biasa, berbeda dengan karamat yang khusus pada sebagian kejadian luar biasa berdasarkan pendapat al-Qusyairi di atas.
3. Kaum Qadariyah mengatakan, kalau boleh terjadi karamat, maka sungguh boleh menetap hukum dengan semata-semata dakwa orang karamat bahwa sesuatu benda merupakan miliknya tanpa ada saksi, karena dhahir derajatnya di sisi Allah Ta’ala yang tidak mungkin ia berdusta, tetapi ini bathil dengan ijmak kaum muslimin dan didukung pula ijmak ini oleh hadits Nabi SAW berbunyi :
البينة على المدعي واليمين على من انكر
ِArtinya : Kesaksian wajib atas orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya.
Ibnu al-Subki menjawab :
Karamat tidak mewajibkan makshum dan benar para wali dalam setiap perkara. Pernah Syeikh al-Thariqat Abu al-Qasim al-Junaid rhm ditanyai mungkinkah seorang wali berzina ? Beliau menjawab dengan Firman Allah berbunyi :
كان امر الله قدرا مقدورا
Artinya : Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (Q.S al-Ahzab : 38)
Kalaupun ada dhan (dugaan kuat) kebenaran para wali tersebut dalam hal apa yang didakwanya, namun syara’ sudah menetapkan jalan khusus dan aturan tertentu dalam menetapkan kebenaran sebuah dakwaan, yakni bukan dengan cara tanpa saksi, yang tidak boleh melangkahi dan berpaling darinya. Karena itu, banyak dhan-dhan yang tidak boleh diputuskan hukum dengan sebabnya, karena keluar dari ketentuan-ketentuan syara’.
4. Kesimpulan dari syubhat kaum Qadariyah yang satu ini adalah, apabila berulang-ulang atau sering terjadi kejadian luar biasa pada para wali, maka kejadian luar biasa itu menjadi kejadian yang biasa bagi para wali tersebut, cuma kejadian yang biasa bagi mereka berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan pada orang lain umumnya. Karena itu, seandainya muncul Nabi pada zaman mereka ini, maka kejadian-kejadian yang sudah menjadi biasa bagi mereka ini akan menutup cara menganalisa kebenaran sebuah mu’jizat. Ini ditambah lagi, seandainya boleh muncul kejadian luar biasa pada seorang yang shaleh, maka tentunya juga boleh terjadi kejadian yang sama pada orang shaleh yang lain sehingga dalam jumlah yang banyak, karena tidak ada kekhususan pada jumlah tertentu. Alhasil, maka tersembunyilah berita kenabian sama sekali.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Sebagian dari para imam-imam kita berpendapat tidak boleh terjadi karamat secara berulang-ulang dalam kejadian yang sama yang mengakibatkan kejadian itu dihukum sebagai kejadian yang biasa terjadi. Apabila kita memegang pendapat ini, maka tertolaklah syubhat mereka. Bahkan ada sebagian ahli tahqiq yang mengatakan, tidak boleh tergambar dalam pikiran kita ada mu’jizat yang terjadi pada para Nabi secara berulang-ulang dalam kejadian yang sama apabila ini dapat menyebabkan mu’jizat menjadi sebuah hal yang biasa terjadi. Syubhat ini tidak menjadi dalil dalam menolak ketetapan adanya asal karamat, tetapi hanya pada karamat-karamat yang sering atau berulang-ulang terjadi dalam kejadian yang sama sehingga dapat dianggap sebagai suatu kejadian yang biasa.
2). Sebagian dari imam-imam kita berpendapat boleh terjadi karamat secara berulang-ulang, tetapi tersembunyi dalam arti tidak dhahir dan tidak tersebar sehingga tidak dianggap orang sebagai kejadian yang biasa. Karena itu, kejadian yang berulang-ulang itu tidak mengeluarkan karamat itu sebagai karamat dalam pandangan umum manusia
3). Imam-imam tersebut mengatakan, seandainyapun karamat para wali itu terjadi secara berulang-ulang sehingga kejadian itu menjadi suatu yang biasa dan hal yang lumrah dalam pandangan manusia, maka hal itupun tidak mengakibat tidak mendapatkan jalan yang terpetunjuk dan jalan lurus untuk mengenali mu’jizat ketika muncul mu’jizat, apabila para wali itu mendapat taufiq dari Allah Ta’ala dan dengan sebab itu, para wali itu dengan anugerah taufiq dari-Nya akan mengikat diri dengan seorang nabi dan mengikutinya apabila muncul mu’jizat pada tangannya serta akan mengatakan kepada khalayak manusia, : “Hai manusia, ini nabi Allah, maka ta’atlah dia dan sesungguhnya aku adalah orang pertama yang patuh dan beriman dengannya”. Dan apabila tidak mendapat taufiq-Nya, maka orang itu bukanlah wali berdasarkan pendapat yang tahqiq.
4). Lagi pula ada jalan lain untuk membedakan karamat yang berulang-ulang terjadi dengan mu’jizat, yakni mu’jizat muncul dan tersebar pada khlayak ramai manusia dan disertai dengan dakwa kenabian. Karena itu, apabila adanya perbedaan antara karamat dengan mu’jizat, maka tidak menutup jalan untuk mengenal seorang nabi.
5). Syubhat yang didatangkan kaum Qadariyah di atas adalah apabila karamat itu terjadi sebelum munculnya nabi penutup segala nabi. Adapun apabila karamat itu datang sesudah munculnya nabi penutup segala nabi, maka tentu tidak ada pembahasan lagi tentang kemungkinan muncul nabi sesudah nabi penutup segala nabi, sehingga syubhat tersebut tidak relevan dikemukakan dalam konteks karamat umat Nabi Muhammad SAW nabi akhir zaman.
5. Kaum Qadariyah mengatakan, seandainya karamat itu ada dasarnya, maka sesungguhnya yang paling layak bersifat dengan karamat adalah umat Islam generasi pertama (sahabat Nabi SAW), karena mereka merupakan umat pilihan dan yang paling utama sesudah para anbiya ‘alaihissalam. Tetapinya nyatanya merupakan suatu yang populer bahwa tidak ada riwayat dari mereka adanya karamat itu.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Kalau dikatakan tidak ada sama sekali terjadi karamat pada generasi pertama, maka ini sesungguhnya merupakan perkataan yang keji dan tertolak. Tetapi kalau memang ada upaya mencari dengan sungguh-sunnguh kejadian-kejadian karamat para sahabat Nabi, maka akan kita dapati meskipun tidak sampai 1 persen.
2). Ketahuilah bahwa karamat yang terjadi pada tangan sahabat atau para wali ataupun yang terjadi sampai pada hari bertemu manusia dengan tuhannya (hari kiamat) adalah merupakan mu’jizat bagi Nabi SAW. Karena yang bersifat dengan karamat itu, mencapai karunia karamat tersebut dengan sebab mengikuti Nabi SAW dan pengakuan bahwa Nabi SAW merupakan makhluq Allah yang utama dan pilihan serta penghulu segala makhluq. Hikmah inilah yang patut menjadi sebab secara global dan umum dalam memunculkan karamat, lebih-lebih lagi pada masa sahabat Nabi SAW. Karena orang-orang kafir manakala melihat munculnya kejadian-kejadian luar biasa pada tangan para sahabat, maka orang-orang kafir itu akan segera beriman dengan Nabi mereka dan mengetahui bahwa para sahabat Nabi itu berada dalam kebenaran.
3). Untuk membuktikan ada terjadinya karamat pada generasi sahabat Nabi SAW, Ibnu al-Subki kemudian mengutip riwayat-riwayat yang menjelaskan adanya terjadi karamat pada tangan sahabat Nabi SAW, yakni antara lain beberapa kejadian karamat yang terjadi pada Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abbas paman Nabi, Ibnu Umar, Ali Yadd al-‘Ula bin al-Hazhrami, Salman, Abi Darda’, Imaran bin Hushain dan Khalid bin Walid.
4). Seandainya ada pertanyaan, kenapa karamat pada tangan sahabat kurang terjadi kalau dibandingkan riwayat-riwayat ada karamat-karamat yang terjadi pada masa sesudah mereka. Ibnu al-Subki menjawab dengan beberapa argumentasi, yakni :
`a). Ahmad bin Hanbal pernah ditanyai mengenai ini, beliau menjawab bahwa keadaan iman para sahabat nabi sangat kuat, maka mereka tidak membutuhkan karamat untuk lebih menguatkan iman mereka, sedangkan selain mereka lemah sehingga membutuhkan muncul karamat untuk menguatkannya.
b).Hampir sama dengan ucapan Ahmad bin Hanbal adalah apa yang dikemukakan oleh Syeikh al-Suhrawardi, yakni kejadian luar biasa hanya dapat menjadi sebab terbuka hijab (kasyaf) bagi orang-orang yang lemah keyakinan kasyaf, sedangkan di atas derajat mereka ada kaum yang memang sudah mencapai terbuka hijab dari hati mereka. Karena itu, tentunya mereka tidak membutuhkan kejadian-kejadian luar biasa itu.
c). Atau penjelasan yang lain, yakni apa yang ada pada sahabat Nabi SAW berupa bertemu langsung dengan Nabi pilihan dan selalu dalam jalan istiqamah serta dibukakan kehinaan dunia bagi hati mereka adalah merupakan sebesar-besarnya karamat. Karena itu, dunia pada tangan mereka merupakan selemah-lemah karunia yang ada pada tangan ahli agama. Dengan sebab itu dipalingkan hal tersebut dari mereka. Inilah sebesar-besar karamat dan tidak ada kerinduan dalam hati mereka kecuali meninggikan kalimat Allah dan berdoa keharibaan Allah Azza wa Jalla.
Bersambung..
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (bag. 2)
[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 316-344.
====
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (Bag. 2)
Oleh Tgk Alizar Usman
B. Dalil syara’ atas adanya karamat para aulia
Setelah memafarkan dalil ‘aqliah untuk menolak kemustahilan karamat pada akal menurut kaum Qadariah, Ibnu al-Subki menyebutkan dalil-dalil syara’ yang membenarkan adanya karamat,[1] yakni sebagai berikut :
1. Berita mengenai berbagai dan beragam karamat yang dialami oleh para ulama dan orang shaleh merupakan sebuah berita yang sangat populer dan masyhur yang tidak mungkin diingkari kecuali oleh orang-orang bodoh dan keras kepala. Berita tersebut sudah menyerupai berita tentang keberanian Ali bin Abi Thalib dan kedermawanan Hatim dikalangan orang Arab. Karena itu, pengingkaran adanya karamat merupakan suatu yang sangat beresiko, karena sangat nyata dan populernya adanya kejadian karamat itu, tidak mengingkarinya dengan keras kecuali orang-orang yang sudah dibutakan Allah mata hatinya.
2. Kisah Maryam a.s. hamil tanpa suami, beliau mendapatkan buah kurma segar dari pohonnya yang kering dan terhidang makananan untuk beliau tanpa diketahui asalnya, Allah berfirman :
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
Artinya : Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah.”(Q.S. Ali Imran :37)
dan firman-Nya :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Artinya : Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. (Q.S. Maryam :25)
Padahal sudah disepakati bahwa Maryam bukanlah seorang nabi, karena beliau adalah seorang wanita. Seandainya ada yang bertanya, bukankah kejadian luar biasa itu bisa jadi merupakan mu’jizat Nabi Zakaria a.s. atau merupakan irhash (kejadian luar biasa sebagai petunjuk akan muncul seorang rasul) bagi kemunculan anaknya, Isa a.s. sebagai rasul, maka jawabannya :
1). Kejadian-kejadian luar biasa ini bukanlah merupakan mu’jizat Nabi Zakaria a.s., karena mu’jizat haruslah disaksikan oleh oleh khalayak ramai supaya menjadi dalil atas kenabiannya, padahal kejadian mendapatkan buah kurma segar dari pohonnya yang kering oleh Maryam tidak disaksikan oleh seorang manusiapun. Dalilnya Allah Ta’ala berfirman dalam ayat selanjutnya, berbunyi :
فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
Artinya : Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah,” (Q.S. Maryam :26)
Dalam hal terhidang makananan untuk Maryam a.s., Nabi Zakaria a.s. tidak mengetahui perihal asal-usul kehadiran makanan tersebut. Karena itu, Nabi Zakaria a.s. Bertanya, "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?.sedangkan mu’jizat itu haruslah merupakan permintaan seorang Rasul. Dengan demikian, kejadianterhidang makanan untuk Maryam a.s. bukanlah mu’jizat bagi Nabi Zakaria a.s. Lagi pula konteks ayat ini untuk ta’dhim kepada Maryam, maka tidak relevan pemahaman kejadian-kejadian luar biasa tersebut untuk memuliakan orang lain.
2). Kejadian luar biasa ini juga bukanlah merupakan irhash bagi kemunculan Nabi Isa a.s., karenairhash khusus terjadi pada tangan Rasul itu sendiri sebelum muncul kerasulannya dalam bentuk kemulian-kemulian. Lagi pula seandainya boleh kejadian luar biasa ini merupakan irhash bagi kemunculan Nabi Isa a.s., maka sungguh dimungkinkan setiap mu’jizat yang terjadi pada orang yang mendakwakan diri sebagai nabi merupakan irhash bagi nabi lain yang akan muncul sesudahnya, bukan sebagai mu’jizat. Maka kebolehan kemungkinan ini akan menyebabkan tertutup bab berdalil dengan mu’jizat atas sebuah kenabian.
3). Mendekati pemahaman kisah Maryam ini dengan kisah ibu Musa a.s., dimana Allah mengilhamnya menghanyutkan anaknya dalam sungai. Imam al-Haramain mengatakan, tidak seorangpun dari ahli-ahli sejarah dan pengutip-pengutip kisah yang menyebutkan bahwa ibu Musa a.s merupakan seorang nabi.
3. Berpedoman kepada kisah pemuda Ashabul Kahfi. Mereka tertidur selama tiga ratus tahun lebih dalam keadaan hidup, tidak kekurangan apapun tanpa makan dan minum. Ini merupakan kejadian luar biasa, tetapi ini bukan mu’jizat, karena mereka bukan nabi. Imam al-Haramain mengatakan, disepakati semua umat Islam bahwa para pemuda Ashabul Kahfi itu bukanlah nabi, mereka hanya beragama dengan agama raja zaman penyembah berhala, tetapi kemudian Allah memberi hidayah kepada mereka sehingga terbuka hati mereka untuk memeluk agama yang diredhai Allah Ta’ala. Hidayah mereka ini bukan datang karena dakwah dari seorang pendakwah, tetapi dengan berpikir dan merenung sehingga muncullah pemikiran dan keyakinan beriman kepada pencipta langit dan bumi serta pencipta sekalian alam ini. Dan tidaklah mungkin dikatakan kejadian luar biasa ini sebagai mu’jizat bagi nabi lain. Hal ini karena sebagai berikut :
1). Mereka menyembunyikan kejadian itu. Hal ini berdasarkan firman allah berbunyi :
وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Artinya : Janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.(Q.S. al-Kahfi :19)
Sedangkan mu’jizat tidak mungkin disembunyikannya.
2). Mu’jizat wajib diketahui oleh manusia lain. Keadaan mereka yang menetap dalam keadaan tidur begitu lama tidak memungkinkan orang-orang mengetahuinya, karena manusia selain mereka tidak melihatnya. Karena itu, para manusia tidak mengetahuinya kecuali dengan pemberitahuan dari mereka sendiri (ini seandainya shahih bahwa manusia-manusia mengetahuinya). Sedangkan pemberitahuan dari mereka hanya berpaedah apabila perkataan mereka dianggap benar oleh manusia-manusia ketika itu dengan datang dalil lain, sedangkan dalil lain tidak ada ketika itu. Adapun menetapkan keadaan mereka adalah benar dengan sebab kejadian lama tertidur itu sendiri, akan menyebabkan duur (Duur adalah keadan dua hal yang saling bergantung dalam hal pendalilian) yang mustahil pada akal. Karena kejadian lama tertidur hanya bisa diterima kebenarannya apabila telah diterima bahwa mereka benar. Dengan demikian, seandainya benar mereka ini tergantung kepada kejadian lama tertidur mereka, maka akan terjadiduur.
3). Seandainya kejadian luar biasa ini sebagai mu’jizat bagi nabi lain, sedangkan penyebutan nama nabi lain itu tidak ada dan juga tidak dalil yang menunjukinya, maka penetapan ada mu’jizat bagi nabi itu tidak ada paedahnya, karena faedah mu’jizat untuk membenarkan kenabian seseorang, sedangkan membenarkan seseorang yang tidak jelas adalah mustahil.
4. Berpedoman dengan kisah-kisah kejadian luar biasa lainnya yang banyak sekali terjadi di dunia ini dari zaman dahulu sampai dengan sekarang ini. Misalnya kisah Ashif bin Barqia bersama Nabi Sulaiman, dimana Ashif bin Barqia mampu membawa istana Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman dalam sekali kedipan matanya berdasarkan penafsiran kebanyakan ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan ‘orang yang di sisinya ada ilmu tentang kitab” adalah Ashif bin Barqia. Demikian juga kisah-kisah kejadian luar biasa yang terjadi pada Sahabat Nabi yang sudah terdahulu disebutkan, serta kisah-kisah yang mutawatir periwayatannya, yakni kisah-kisah kejadian luar biasa yang terjadi pada ulama-ulama shaleh yang hidup sesudah Sahabat Nabi. Kisah-kisah kejadian ini tidak terhingga jumlahnya.
5. Anugerah ilmu kepada para ulama ini ummat dan orang-orang shaleh, sehingga mereka mampu berkarya mengarang kitab-kitab yang banyak, dimana selain mereka tidak mampu menyalinnya sebanyak itu dalam jangka batas umur pengarangnya, sementara isi kitab tersebut mengandung keajaiban-keajaiban yang tidak ada batasnya, istimbath-istimbath yang digemari oleh orang-orang berakal dan makna-makna yang dikeluarkan dari al-Kitab dan al-Sunnah, mentahqiqkan kebenaran dan membatalkan kebathilan serta kesabaran-kesabaran dalam mujahadah, riyadhah, mengajak kepada kenaran dan juga sabar dari segala rintangan-rintangan serta menjauhi dari segala kelazatan dunia dan lain-lain yang menggambarkan bahwa semua itu merupakan anugrah Allah yang tidak didapati oleh manusia pada umumnya. Karena itu, kejadian-kejadian seperti ini tidak boleh tidak, tentu harus diyakini sebagai karamat yang diberikan Allah kepada hamba pilihannya.
Bersambung ke bag.3
Karamat para aulia menurut Ibnu al-Subki (bag. 1)
Karamat para aulia menurut ibn al-Subki (Bag. 3)
[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 334-337
====
Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (Bag. 3)
Oleh Tgk Alizar Usman
C. Macam-Macam Jenis Karamat
Ibnu al-Subki menyebutkan beberapa jenis karamat, antara lain :
1. Menghidupkan orang mati.
Beliau menyebut beberapa contohnya, salah satunya adalah berdasarkan riwayat shahih, yang mengisahkan kejadian yang dialami Abu ‘Ubaid al-Busri ketika berperang, bersamanya ada seekor hewan tunggangannya tetapi kemudian mati. Lalu beliau berdo’a kepada Allah Ta’ala supaya dihidupkan kembali, supaya bisa pulang ke kampung halamannya dengan menunggang hewan tersebut. Tanpa diduga, hewan itupun hidup dan berdiri, namun tanpa dua telinganya. Begitu selesai perang dan beliau sampai ke kampung halamannya, beliau memerintahkan pembantunya untuk mengambil pelana dari hewan tersebut, begitu pelana itu diambil, hewan itupun tersungkur dalam keadaan mati.
Namun pada Akhir penyebutan kisah-kisah aulia Allah menghidupkan kembali orang mati, beliau mengatakan tidak ada riwayat yang shahih yang mengisahkan seorang aulia Allah dihidupkan baginya seorang yang sudah mati dalam waktu yang lama sehingga tulangnya diperkirakan sudah hancur, tetapi kemudian bisa hidup dalam waktu yang lama juga. Namun menurut beliau ini tidak diragukan, mungkin saja terjadi pada seorang nabi sebagai mu’jizatnya.
2. Berbicara orang mati
Ini banyak contoh kisah-kisahnya seperti yang diriwayat tentang kisah yang terjadi pada Abu Sai’d al-Kharazi, Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan lain-lain.
3. Terbelah laut atau kering laut dan dapat berjalan atas air
Contohnya banyak, diantaranya kisah yang dialami oleh Syeikh Islam Taqiyuddin Ibn Daqiq al-Id.
4. Berubah suatu benda kepada bentuk lain.
Sebagaimana dikisahkan Syeikh Isa al-Hitar, pernah seseorang mengirim kepadanya dua tempayan penuh dengan khamar untuk memperolok-oloknya. Namun Syeikh Isa al-Hitar menuangkan isi salah satunya kepada tempayan yang Lain, kemudian beliau mengatakan kepada yang hadir ketika itu, “Bismillah, makanlah.” Maka merekapun makan, karena seketika itu juga khamar tersebut menjadi mentega, yang harum dan warnanya tidak pernah dilihat sama dengannya.
5. Mengerucut bumi
Dihikayahkan sebagian aulia di Jami’ Tharasus kepingin berziarah ke Masjidilharam, maka aulia itu memasukkan kepada dalam jubbahnya, ketika dikeluarkannya, beliau itu sudah berada di masjidilharam. Ibnu al-Subki mengatakan kisah-kisah seperti ini mencapai qadar jumlah mutawatir yang tidak mungkin mengingkarinya kecuali orang keras kepala.
6. Berbicara benda mati atau hewan
Tidak diragukan lagi, ini banyak terjadi. Contohnya kisah Ibrahim bin Adham lagi duduk di bawah pohon delima di Baitul Muqaddis, tiba-tiba pohon kurma itu berbicara sampai tiga kali, ”Hai, Abu Ishaq, muliakanlah aku dengan memakan sesuatu dariku”. Pohon kurma itu rendah dan rasanya asam. begitu setelah delima itu dimakan Ibrahim bin Adham, pohonnya tiba menjadi tinggi dan rasanya menjadi manis serta berbuah dua kali dalam setahun. Kemudian orang-orang menamakan kurma itu kurma orang ‘abid.
7. Dapat menyembuh orang sakit
Sebagaimana dikisahkan Syeikh Abd al-Qadir Al-Jailani bertemu dengan seorang anak kecil yang tidak bisa berjalan, pakaiannya kotor, buta dan berpenyakit kusta. Abd Al-Qadir al-Jailani mengatakan kepadanya, “Berdirilah dengan izin Allah” maka anak itupun berdiri dan penyakitnya hilang semua.
8. Patuh binatang-binatang dan benda mati
Sebagai kisah yang terjadi pada Abi Sa’id bin Abi al-Khair al-Maihani bersama seekor singa dan kisah Ibrahim al-Khawas mencium singa. Bahkan patuh benda mati sebagaimana kisah yang terjadi pada Syeikh Islam ‘Izzuddin bin Abdussalam
9. Menyingkatkan waktu
10. Dan memanjang waktu
Ibnu al-Subki mengatakan, dua bentuk karamat ini sukar dipahami, tetapi kisah-kisahnya banyak terjadi. Karena itu, menyerahkan kepada ahlinya lebih baik untuk orang yang mengimaninya.
11. Istijabah do’a
Ini banyak sekali. Ibnu al-Subki mengatakan, kami sering menyaksikannya.
12. Tertahan lidah dari berkalam dan kefasihan berkalam
13. Ketertarikan sebagian hati manusia dalam suatu majelis yang awalnya penuh kebencian
14. Memberitahukan sebagian yang ghaib dan kasyaf
15. Mampu tidak makan dan minum dalam waktu yang lama
16. Maqam al-tasrif (merubah keadaan alam), seperti sebagian wali yang menjual hujan
17. Mampu mendapati banyak makanan
18. Terpelihara dari makanan yang haram
Sebagaimana dihikayahkan bahwa al-Harits al-Hasibi terangkat ke hidungnya desahan makanan haram sehingga ia tahu makanan tersebut adalah haram dan tidak memakannya
19. Terlihat tempat yang jauh dibelakang hijab
Sebagaimana dikatakan bahwa Syeikh Abu Ishaq al-Syairazi dapat melihat Ka’bah, padahal beliau berada di Baghdad.
20. Memunculkan ketakutan yang luar biasa sehingga dapat membuat mati dengan semata-mata melihatnya.
Kisah ini pernah dialami oleh teman Abu Yazid al-Bustami
21. Allah Ta’ala memelihara para aulia Allah dari kejahatan yang direncanakan orang terhadapnya dan berubah menjadi kebaikan
Ini sebagaimana pernah terjadi kisah Imam Syafi’i r.a bersama Harun al-Rasyid.
22. Berubah dengan bentuk yang berbeda-beda
Ini apa yang disebut oleh kalangan sufí sebagai alam mitsal. Alam mitsal itu alam antara alam ajsam dan alam arwah, lebih halus dari alam ajsam dan lebih kasat dari alam arwah. Berdasarkan ini, pada alam mitsal, arwah dapat berjasad dan berbentuk dalam bentuk yang berbeda. Menurut kaum sufí ini sesuai dengan firman Allah berbunyi :
فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
Artinya : Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.(Q.S. Maryam : 17)
Contohnya, kisah al-Qazhib al-Ban al-Maushily (beliau termasuk salah seorang abdal), beliau pernah dituduh meninggalkan shalat oleh orang yang tidak pernah melihat beliau shalat dan orang itu sangat bersikeras bahwa beliau tidak shalat. Pada ketika itu, al-Maushily menjelma dalam beberapa bentuk yang berbeda, beliau bertanya kepada orang yang menuduh beliau tersebut, “Dalam bentuk mana kamu melihat aku tidak shalat?”.
23. Mengetahui yang tersimpan dalam bumi
24. Kemudahan dalam mengarang kitab-kitab pada waktu yang singkat.
Sebagaimana Imam Syafi’i, seandainya dihitung umur beliau yang pendek itu, maka dhahirnya tidak mencukupi waktunya untuk mengarang sepersepuluh dari karya-karya beliau. Belum lagi berdasarkan riwayat yang shahih bahwa beliau membaca al-Qur’an sekali khatam dengan memikirkan maknanya dalam setiap hari dan dua kali khatam dalam setiap hari pada bulan Ramadhan, kesibukan mengajar, zikir, berpikir dan sakit. Ibnu al-Subki mengatakan ini termasuk dalam katagori jenis karamat memanjang waktu (nasyr al-zaman).
25. Tidak mempan racun dan yang membinasakan lainnya.[1]
[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 337-344
.
0 Response to "Dalil Karomah Dan Penjelasannya"
Posting Komentar