Anak Zina dan Problematikanya
Anak zina dan Problematikanya
oleh : Abiyya Tgk. Nawawi Hakimis
===
Pendahuluan.
Manusia
dibekali nafsu birahi dengan tujuan untuk mempertahankan garis keturunannya.
Syaithan menggoda anak adam dengan memancing nafsu birahinya, sehingga sejak
dulu hingga nanti hari kiamat, kasus perzinahan akan terus terjadi sehingga
tidak jarang dari tindakan tersebut melahirkan anak. Islam sebagai agama yang
paripurna menyikapinya dengan pernikahan sebagai cara menyalurkan nafsunya
secara sah dan terhormat.
Dalam
hal ini marilah kita mengingat QS. Al Isra’ 17 : 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاءَ سَبِـيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina,
karena sesungguhnya zina itu adalah faahisyah (perbuatan yang keji) dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang). (Al Israa`/17 : 32).
Dalam
permasalahan ini kita akan membicarakan beberapa hal yang menyangkut dengan
hubungan antara dua jenis manusia dan hal yang berkaitan dengannya.
Anak di Luar Nikah
Status anak yang dihasilkan dari
hubungan perkawinan antara pria dan wanita yang tidak shah:
1. Anak Mula’anah
2.
Anak Syubhat
3.
Anak Zina
1. Anak Mula’anah
Anak Mula’anah adalah anak yang
dilahirkan dari seorang wanita yang dili’an oleh
suaminya.
Li'an[1]
berasal dari kata la'n. Arti Li'an adalah menjauhkan suami-isteri
yang bermula'anah (saling melaknat). Suami yang menuduh isterinya berzina tanpa
dapat menghadirkan 4 (empat) orang saksi bersumpah empat kali, yang menyatakan
bahwa ia benar. Dan pada sumpahnya yang ke-5 dia mengucapkan bahwa dia
akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta. Lalu isteri yang
menyanggah tuduhan tersebut bersumpah pula empat kali bahwa suaminya
telah berdusta. Dan pada yang kelima kalinya si isteri mengucapkan bahwa dia
akan dilaknat oleh Allah kalau ternyata ucapan (tuduhan) suaminya itu benar.
Arti "menjauhkan" bisa juga bermakna bahwa si suami dan isteri
masing-masing dijauhkan teman hidupnya tadi untuk selama-lamanya, sehingga haramlah
dikawininya kembali . Arti Anak Li'an adalah; anak yang tidak
diakui oleh bapaknya.
Kata li’an menurut
bahasa berarti اللعن
بين اثنين فصاعدا (saling melaknat / mengutuk yang
terjadi di antara dua orang atau lebih).
Sedang, menurut istilah syar’i,
li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya
telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak
kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang
dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
Firman Allah SWT QS An-Nuur 24 : 6-9
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُون {4}[2]
"Orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah
orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَآءُ إِلآ أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ {6}
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ {7}
وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ
لَمِنَ الْكَاذِبِينَ {8} وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَآ إِن كَانَ
مِنَ الصَّادِقِينَ {9}
“Dan orang-orang yang menuduh
isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali
atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).
Sedangkan kedudukan li’an, apabila
suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya
hukum-hukum berikut ini:
a) Keduanya harus diceraikan,
berdasarkan hadist:
Dari
Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami
dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”
b) Keduanya haram ruju’ untuk
selama-lamanya.
Dari
Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami
isteri yang saling bermula’anah di mana mereka diceraikan antara keduanya,
kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”
c) Wanita yang bermula’anah berhak
memiliki mahar
Dari
Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar
ra, “(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh
isterinya berbuat serong?” Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara
dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau
bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian
berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?”
Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi,
“Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong,
karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka
enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara
kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau
bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka
selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr
bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada
sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang
bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw),
“Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah
bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”
d) Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus
diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari
Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk
mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan
dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu
Rasulullah serahkan kepada isterinya.”
e) Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris
anaknya dan begitu juga sebaliknya. Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin
Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang
bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan/dibangsakan
kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana
ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak
menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”
2. Anak Syubhat
Dalam keadaan tertentu hubungan
kelamin (selain suami-istri) tidak dihukumkan berdosa dan tidak dikenakan
sanksi had, yaitu apabila hubungan itu terjadi karena suatu kesalahan, seperti
salah kamar, sang suami menyatakan bahwa yang sedang tidur di kamar A adalah
istrinya, sedangkan di kamar B adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula
si istri menyangka bahwa yang datang itu adalah suaminya, kemudian terjadilah
hubungan suami-istri. Hubungan dalam bentuk ini, ada pula syubhat akad,
misalnya seorang laki-laki menikah seorang wanita, kemudian diketahui bahwa
wanita yang dinikahinya itu adalah adik kandungnya sendiri atau saudara
sesusuan, tentu saja wanita tersebut haram dinikahi.
Dari kedua macam syubhat tersebut yakni
:
1. syubhat perbuatan dan
2. syubhat akad
melahirkan
anak, maka anak tersebut dapat dihubungkan nasabnya kepada bapak karena
syubhatnya itu atas pengakuannya. Untuk syubhat akad si istri harus diceraikan,
karena haram kawin dengan adik kandung atau sesusuan dan lain-lain yang
tergolong dari wanita yang haram dinikahi (mahram).[3]
3. Anak Zina
Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :
ولد الزنا هو المولود من غير نكاح شرعى ,أو
ثمرة العلاقة الاثمة بين الرجل والمرأة
Artinya “Anak yang lahir karena perbuatan
zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara
syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan
wanita.“
Anak zina adalah anak yang lahir
dari hasil hubungan tanpa pernikahan, bisa juga di sebut dengan anak tidak sah.
Karena dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau di sebut anak haram, karena
perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahirannya adalah
perbuatan keji yang diharamkan oleh syara’
Hadits sahih
riwayat Bukhari dan Muslim:
الْوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الحجَرُ
Artinya:
“Anak yang lahir untuk pemilik firasy /
kasur / tempat tidur (yakni: anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau
budak wanitanya adalah miliknya / Anak itu
dinasabkan kepada suami yang sah), dan seorang pezina adalah batu (yakni: kerugian dan penyesalan / tidak punya hak
pada anak hasil perzinahannya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). [4]
Secara
garis baris kasus anak zina dapat dibagi dalam empat kategori yaitu
- anak yang lahir tanpa adanya perkawinan;
- kedua pelaku zina menikah sebelum anak lahir;
- perempuan hamil zina menikah dengan pria lain (bukan yang menzinahi;
- perempuan bersuami berzina, hamil dan melahirkan anak.
Status Anak
Zina yang Lahir di Luar Nikah
Salah satu
tipe kasus perempuan yang hamil karena zina adalah bahwa laki-laki yang
menzinahi tidak mau menikahi perempuan yang dizinahinya. Istilah yang umum
dipakai adalah si pria tidak mau bertanggung jawab. Seakan-akan pihak pria-lah
satu-satunya oknum yang yang harus bertanggung jawab atas masalah kecelakaan
ini. Faktanya adalah keduanya sama-sama bersalah. Itulah sebabnya dalam hukum
Islam yang terkena hukuman bukan hanya pelaku pria tapi juga wanita.
Allah
berfirman dalam QS An-Nur 24:2
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ
وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ
الْمُؤْمِنِينَ {النور :2}
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Hukuman dera
adalah apabila pelaku zina tidak memiliki suami atau istri.
Sedangkan
untuk kasus terakhir maka hukumanya adalah rajam.[5]
Adapun
status anak hasil zina yang lahir tanpa ada ikatan pernikahan sama sekali
antara ibunya dengan pria manapun, maka ada dua pendapat ulama:
Ø Pendapat pertama adalah anak tersebut dinasabkan pada
ibunya walaupun seandainya ayah biologisnya mengklaim (Arab, ilhaq atau istilhaq)
bahwa ia adalah anaknya. Ini pendapat mayoritas ulama antar-madzhab yaitu
madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan sebagian madzhab Hanafi.[6]
Pendapat ini berdasarkan pada hadits sahih dari Amr bin Syuaib sebagai
berikut:
قَضَى النبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا
، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ وَإِنْ
كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ
كَانَ أَوْ أَمَةٍ
(Nabi memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang
tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke
bapak biologisnya dan tidak mewarisinya walaupun ayah biologisnya mengklaim dia
anak biologisnya. Ia tetaplah anak zina baik dari perempuan budak atau wanita
merdeka).[7]
Bahkan menurut madzhab Syafi’i anak zina perempuan boleh menikah dengan
ayah biologisnya walaupun itu hukumnya makruh.[8]
Ini menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada hubungan nasab syari’i antara anak
dengan bapak biologis dari hubungan zina. Menurut madzhab Hanbali, walaupun
tidak dinasabkan pada bapaknya, namun tetap haram hukumnya menikahi anak
biologisnya dari hasil zina.[9]
Karena dinasabkan pada ibunya, maka apabila anak zina ini perempuan maka
wali nikahnya kelak adalah wali hakim yaitu pejabat KUA dan jajarannya.[10]
Ø Pendapat kedua adalah bahwa anak zina tersebut
dinasabkan pada ayah biologisnya walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu
biologisnya. Ini adalah pendpat dari Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar,
Al-Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i, dan Ishaq. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Taimiyah dari madzhab Hanbali apabila ada klaim atau pengakuan (istilhaq) dari
bapak biologis anak.[11]
َ
’Urwah bin
Zubair dan Sulaiman bin Yasar pernah berkata bahwa “Seorang pria yang datang
pada seorang anak dan mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya dan mengaku
pernah berzina dengan ibunya dan tidak ada laki-laki lain yang mengakui, maka
anak itu adalah anaknya ”.[12]
Perlu
dicatat, bahwa anak zina memiliki hak, kesempatan dan keistimewaan yang sama
dengan anak-anak lain yang bukan zina. Anak zina bukan anak kutukan. Bukan pula
anak yang membawa dosa turunan. Nasib anak zina tergantung dari amalnya sendiri
dengan alasan :
- QS. An-Najm 53:39;
- QS. Al-An’am 6:164;
- QS. Al-Isra’ 17:15;
- QS. Fathir 35:18;
- QS. Az-Zumar 39:7.
Sehingga apabila
dia kelak menjadi anak yang saleh, maka ia akan menjadi anak yang beruntung di
akhirat begitu juga sebaliknya apabila menjadi anak yang fasiq (pendosa)
atau murtad maka ia akan menjadi manusia yang akan mendapat hukuman setimpal.
Adapun
hadits Nabi yang menyatakan bahwa “anak zina tidak akan masuk surga”[13],
maka ulama memaknainya dengan catatan apabila ia melakukan perbuatan seperti
yang dilakukan orang tuanya.” [14]
Sedang
hadits lain yang menyatakan bahwa “anak zina mengandung tiga keburukan”[15]
maka menurut Adz-Dzahabi hadits ini sanadnya dhaif.
Status Anak
dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Ayah Biologisnya
Menurut
madzhab Syafi’i, seorang wanita yang hamil zina boleh dan sah menikah dengan
lelaki yang menzinahinya dan boleh melakukan hubungan intim - (walaupun makruh))
tanpa harus menunggu kelahiran anak zinanya.[16]
Pandangan ini didukung oleh ulama madzhab Hanafi.[17]
Sedangkan
menurut madzhab Maliki[18]
dan Hanbali[19]
tidak boleh menikahi wanita yang pernah berzina kecuali setelah istibrai’
yakni melahirkan anaknya bagi yang hamil atau setelah selesai satu kali haid
bagi yang tidak mengandung.
Bagi wanita
pezina yang kawin saat hamil dengan lelaki yang menghamili maka status
anak tersebut sah menjadi anak dari bapak biologisnya apabila si bapak
mengakuinya. Hal ini berdasarkan pada keputusan yang diambil oleh Sahabat Umar
bin Khattab di mana beliau menasabkan anak-anak jahiliyah (pra Islam) pada
mereka yang mau mengakui sebagai anaknya setelah Islam.[20]
Sahabat Ibnu Abbas juga pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan perempuan kemudian menikahinya. Ibnu Abbas menjawab: “Awalnya berzina.
Akhirnya menikah itu tidak apa-apa.”[21]
Dari
kalangan empat madzhab, Imam Abu Hanifah—pendiri madzhab Hanafi– yang paling sharih
(eksplisit) menegaskan sahnya status anak zina dinasabkan pada bapak
biologisnya apabila kedua pezina itu menikah sebelum anak lahir. Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni mengutip pandangan Abu Hanifah demikian:
لا أرى بأسا إذا
زنى الرجل بالمرأة فحملت منه أن يتزوجها مع حملها, ويستر عليها, والولد ولد له
(Seorang
lelaki yang berzina dengan perempuan dan hamil, maka boleh menikahi perempuan
itu saat hamil. Sedangkan status anak adalah anaknya).[22]
Dalam
madzhab Syafi’i ada dua pendapat.
- Pendapat pertama bahwa nasab anak zina tetap kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya walaupun keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Ini pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i.
- Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan kepada ayah biologisnya apabila anak lahir di atas 6 bulan setelah akad nikah antara kedua pezina. Dan tidak dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar pengakuan anak.
Wahbah
Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menyatakan:
يحل بالاتفاق
للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها، فإن جاءت بولد بعد مضي ستة أشهر من وقت
العقد عليها، ثبت نسبه منه، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لا يثبت
نسبه منه، إلا إذا قال: إن الولد منه، ولم يصرح بأنه من الزنا. إن هذا الإقرار
بالولد يثبت به نسبه منه
(Ulama
sepakat halalnya pria pezina menikahi wanita yang dizinahi. Apabila melahirkan
anak setelah enam bulan akad nikah maka nasabnya ke pria itu. Apabila kurang dari
6 bulan dari waktu akad nikah maka tidak dinasabkan padanya kecuali apabila si
pria membuat ikrar dengan mengatakan bahwa anak itu darinya dan tidak
menjelaskan bahwa ia berasal dari zina. Maka dengan ikrar ini nasab anak
tersebut tetap pada ayah biologisnya).[23]
Adapun
menurut madzhab Hanbali dan Maliki, maka haram hukumnya menikahi wanita hamil
zina kecuali setelah melahirkan. Dan karena itu, kalau terjadi pernikahan
dengan wanita hamil zina, maka nikahnya tidak sah. Dan status anaknya tetap
anak zina dan nasabnya hanya kepada ibunya.[24]
Status Anak
dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Lelaki Lain Bukan Ayah
Biologisnya
Seorang
wanita melakukan zina dengan seorang pria dan hamil. Kemudian dia menikah
dengan pria lain bukan yang menzinahinya. Hukum pernikahannya adalah sah
menurut madzhab Hanafi, As-Tsauri dan pendapat yang sahih dalam madzhab
Syafi’i. Walaupun terjadi perbedaan tentang apakah boleh hubungan intim sebelum
melahirkan atau tidak. Sedang menurut madzhab Maliki dan Hanbali mutlak tidak
boleh karena wajib melakukan istibra’ (penyucian rahim). Ia baru boleh
dinikahi setelah melahirkan.[25]
Adapun
status anak dalam kasus ini maka menurut madzhab Syafi’i jika anak lahir di
atas 6 bulan pasca pernikahan, anak tersebut secara dzahir saja dinasabkan
kepada suaminya, dan ia wajib menafikannya (tidak mengakui anak) menurut
pandangan Sayed Ba Alwi Al-Hadrami dalam Bughiyatul Mustarsyidin:[26]
نكح حاملاً من
الزنا فولدت كاملاً كان له أربعة أحوال ، إما منتف عن الزوج ظاهراً وباطناً من غير
ملاعنة ، وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الاجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع
سنين من آخر إمكان الاجتماع ، وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثاً وغيره ظاهراً ،
ويلزمه نفيه بأن ولدته لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين ، وعلم الزوج أو غلب
على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه ، أو ولدت لدون ستة
أشهر من وطئه ، أو لأكثر من أربع سنين منه ، أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه
لها بحيضة وثم قرينة بزناها ، ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة ، وورد أن تركه
كفر ، وإما لاحق به ظاهراً أيضاً ، لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة
، بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها ، إذ
الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض ، وإما
لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة ، وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه ، أو استوى
الأمران بأن ولدته لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ، ولم يستبرئها بعده أو
استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة ، بل يلحقه بحكم الفراش ، كما لو علم زناها
واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ، ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة ، فالحاصل
أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه ، ولا ينتفي عنه إلا
باللعان والنفي ، تارة يجب ، وتارة يحرم ، وتارة يجوز ، ولا عبرة بإقرار المرأة
بالزنا ، وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته
Al-Khatib
As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj membuat pernyataan senada:[27]
تنبيه: سكت المصنف
عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا يجوز؛ لجواز كون
الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد ليس مني وإنما هو
من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.
Inti dari
pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus ini adalah bahwa anak
yang terlahir dari hamil zina yang ibunya menikah saat hamil dengan lelaki
bukan yang menghamili, maka status anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak.
Bukan pada bapaknya. Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari ibunya.
Sedang wali nikahnya apabila anak itu perempuan adalah wali hakim.[28]
Status Anak
Zina dari Hasil Hubungan Perempuan Bersuami dengan Lelaki Lain
Apabila
seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan hubungan zina dengan
lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status anaknya saat lahir adalah anak
dari suaminya yang sah; bukan anak dari pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun
pria yang menzinahinya mengklaim (Arab, istilhaq) bahwa itu anaknya.
Sebagai anak dari laki-laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak berhak
atas segala hak nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah apabila
anak tersebut perempuan. Ini adalah pendapat ijmak (kesepakatan) para
ulama dari keempat madzhab sebagaimana disebut dalam kitab At-Tamhid
demikian:[29]
وأجمعت الأمة على
ذلك نقلاً عن نبيها، وجعل رسول الله كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به
على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم اللعان… وأجمعت الجماعة من العلماء أن
الحرة فراش بالعقد عليها مع إمكان الوطء وإمكان الحمل، فإذا كان عقد النكاح يمكن
معه الوطء والحمل فالولد لصاحب الفراش، لا ينتفي عنه أبدًا بدعوى غيره، ولا بوجه
من الوجوه إلا باللعان
(Ulama
sepakat atas hal itu berdasarkan hadits Nabi di mana Rasulullah telah
menjadikan setiap anak yang lahir atas firasy [istri] bagi seorang
laki-laki maka dinasabkan pada suaminya dalam keadaan apapun, kecuali apabila
suami yang sah tidak mengakui anak tersebut dengan cara li’an berdasar
hukum li’an. Ulama juga sepakat bahwa wanita merdeka menjadi istri yang sah
dengan akad serta mungkinnya hubungan intim dan hamil. Apabila dimungkinan dari
suatu akad nikah itu terjadinya hubungan intim dan kehamilan, maka anak yang
lahir adalah bagi suami [sahibul firasy]. Tidak bisa dinafikan darinya
selamanya walaupun ada klaim dari pria lain. Juga tidak dengan cara apapun
kecuali dengan li’an).
Pandangan
ini disepakati oleh madzhab Hanbali di mana Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:[30]
وأجمعوا على أنه
إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه، وإنما الخلاف فيما إذا ولد على غير
فراش
(Ulama
sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari perempuan yang bersuami kemudian
anak itu diakui oleh lelaki lain maka pengakuan itu tidak diakui. Perbedaan
ulama hanya pada kasus di mana seorang anak lahir dari perempuan yang tidak
menikah).
Kesepakatan
ulama atas kasus ini didasarkan pada sebuah hadits sahih riwayat Muslim yang
menyatakan
الولد للفراش وللعاهر الحجر
(Anak bagi
suami yang sah, bukan pada lelaki yang menzinahi).[31]
Kesimpulan
Perzinahan
adalah dosa besar yang harus dihindari oleh setiap umat Islam. Orang tua
berkewajiban menjaga anak-anaknya agar terhindar dari perzinahan dengan
memberikan pendidikan dan pengawasan yang memadai tentang bahaya zina di dunia
dan akhirat. Suami dan istri juga harus menjaga kehormatannya agar tidak
terjebak pada perbuatan zina.
Apabila
perzinahan dan kehancuran kehormatan itu terjadi, maka tidak ada langkah yang
dapat dilakukan kecuali damage control (menjaga kerusakan) agar tidak
semakin parah. Dengan cara mengambil langkah-langkah yang diperlukan yang
sesuai dengan aturan syariah sebagai berikut:
Menikahkan
anak perempuan yang terlanjur berzina dengan pria yang menzinahi. Baik sudah
hamil atau belum. Agar terhindar dari perbuatan nista berikutnya.
Apabila
hamil, maka hendaknya segera dinikahkan dengan pria yang menghamili untuk
menyelamatkan martabat dari anak yang dikandung yang menjadi korban dari dosa
orang tuanya.
Apabila pria
yang menzinahi adalah non-muslim, maka hendaknya dia diminta untuk masuk Islam
agar pernikahan sah. Apabila menolak, maka hendaknya dinikahkan dengan pria
lain yang muslim.
Bagi suami
yang istrinya berzina dan hamil, maka anak yang lahir dinasabkan pada suami
kecuali kalau suami menolak dengan cara li’an. Idealnya, suami
menceraikan istri yang berzina sesuai perintah Rasulullah dalam sebuah hadits
sahih.
Kemalangan sang anak hasil zina kedua orang tuanya
1.
Seorang Anak dari
Perbuatan Zina Tak Mendapat Nasab dari Ayahnya
2.
Hak Waris dari Ayahnya Tak
Pula Ia Dapatkan
3.
Wali
Nikah Anak Perempuan Bukanlah Ayah Biologisnya
Nb:
Copas :
Dari berbagai sumber
[1] كتاب
اللعان هو لغة مصدر أو جمع لعن : الإبعاد ، وشرعا : كلمات
جعلت حجة للمضطر لقذف من لطخ فراشه وألحق به العار ، أو لنفي ولد عنه سميت بذلك لاشتمالها
على إبعاد الكاذب منهما عن الرحمة وإبعاد كل عن الآخر ، وجعلت في جانب المدعي مع أنها
أيمان على الأصح رخصة لعسر البينة بزناها وصيانة للأنساب عن الاختلاط ، ولم يختر لفظ
الغضب المذكور معه في الآية لأنه المقدم فيها ، ولأنه قد ينفرد لعانه عن لعانها ولا
عكس .
والأصل فيه قبل الإجماع أوائل سورة النور مع الأحاديث الصحيحة فيه ، ولكونه
حجة ضرورية لدفع الحد أو لنفي الولد كما علم مما ذكر توقف على أنه ( يسبقه قذف ) بمعجمة
أو نفي ولد لأنه تعالى ذكره بعد القذف ، وهذا أعني القذف من حيث هو لغة الرمي ، وشرعا
: الرمي بالزنا تعييرا ، ولم يذكره في الترجمة لأنه وسيلة لا مقصود كما تقرر ( وصريحه
بالزنا كقوله ) في معرض التعيير ( لرجل أو امرأة ) أو خنثى ( زنيت ) بفتح التاء في
الكل ( أو زنيت ) بكسرها في الكل ( أو ) قوله لأحدهما ( يا زاني أو يا زانية ) لتكرر
ذلك وشهرته واللحن بتذكير المؤنث وعكسه غير مؤثر فيه ، بخلاف ما لا يفهم منه تعيير
ولا يقصد به بأن قطع بكذبه كقوله لابنة سنة مثلا زنيت فلا يكون قذفا كما قاله الماوردي
.إهـ. الكتاب : نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج , المؤلف : شمس الدين محمد بن أبي العباس أحمد بن حمزة شهاب
الدين الرملي (المتوفى : 1004هـ) ج 23 ص 189 (مكتبة الشاملة)
[2] Sehubungan dengan permasalahan
di atas, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Sa'ad
bin Ubadah selaku sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya
seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti
yang tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas). Rasulullah SAW bersabda,
"Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai
kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar
cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan
dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi
perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."
Kemudian
Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu
benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran,
seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh
berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku
dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka,
pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."
Tidak
berselang lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah
kembali dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang
laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau
mengusirnya sampai waktu pagi tiba. Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah SAW
dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari,
aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya
sendiri." Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah.
Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh
langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat
diterima oleh kaum muslimin."
Hilal
berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku."
Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah
karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata
jujur."
Demi
Allah, sesungguhnya, Rasulullah SAW ingin memberikan perintah agar Hilal
didera, namun saat itu wahyu turun, yakni Surah An Nuur ayat : 6 – 9 tersebut.
Setelah
itu, Rasulullah SAW bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah
memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh,
itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."
Demikianlah
asbabun nuzul turunnya ayat 6 – 9 dari
surat An Nuur di atas.
[3] ولو نكح
إمرأة فبانت محرمة برضاع ببينة أو قرار فرق بينهما، فإن حملت منه كان الولد نسيبا
لاحقا بالواطئ لا يجوز نفيه وعليها عدة الشبهة ولها مهر المثل لا المسمى وللوطء
المذكور حكم النكاح في الصهر والنسب لا في حال النظر والخلوة ولا في النقض فيحرم
على الواطئ نكاح أصولهاوفروعها و تحرم هي على أصوله وفرعه ويجوز النظر إلى المحرم
المذكورة بلا شهوة. إ هـ . بغية المسترشدين
: 201
[5] Orang yang sudah bersuami atau beristri disebut muhshan. Zina muhshan
dihukum rajam yaitu hukuman dengan cara dilempar batu sampai mati.. Ini
berdasar pada sejumlah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq
alaih). Salah satunya adalah hadits muttafaq alaih dari Umar bin Khattab sbb:
ورجم رسول الله صلى الله عليه وسلم
ورجمنا بعده، فأخشى إن طال بالناس زمان أن يقول قائل، ما نجد الرجم في كتاب الله
فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله تعالى، فالرجم حق على من زنى إذا أحصن من الرجال
والنساء إذا قامت البينة أو كان الحبل أو الاعتراف، وقد قرأتها” الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البته
نكالاً من الله والله عزيز حكيم
فإن حكم ولد الزنا حكم ولد الملاعنة لأنه
ثابت النسب من أمه وغير ثابت النسب من أبيه
[10] Berdasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud السلطان ولي من لا
ولي له (Sultan menjadi wali nikah perempuan yang tidak punya wali)..
Sultan adalah raja atau kepala negara, instansi pemerintah yang membidangi
agama seperti hakim agama, pejabat KUA dan jajaran di bawahnya. Termasuk dari
wali hakim adalah para ulama, atau imam masjid.
أيما رجل أتى إلى غلام يزعم أنه ابن له،
وأنه زنا بأمه، ولم يَدَّعِ ذلك الغلامَ أحدٌ فهو ابنه
لا يدخل الجنة ولد زانية
[16] Analisa detail lihat A. Fatih Syuhud “Hukum Menikahi
Wanita Tidak Perawan karena Zina” dalam Keluarga Sakinah, hlm. 190
(Pustaka Alkhoirot:2013).
[17] Menrut salah satu pendapat dalam madzhab Hanafi yang
lebih rajih lihat Al-Mabsut lis-Syaibani 5/257. Pendapat yang lain
tidak boleh sebagaimana pandangan madzhab Maliki dan Hanbali. Lihat, Mukhtashar
Ikhttilaf al-Ulama lit-Tahawi 2.328.
[20] Berdasar riwayat Abdur Rozzaq dalam Al-Mushannaf
7/123 dan Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro 10/263.
وسئل ابن عباس رضى الله عنهما فيمن فجر
بامرأة ثم تزوجها؟ قال: أوله سفاح، وآخره نكاح لا بأس به.
Redaksi matan dalam Abdurrozzaq Al-Muhsannaf 7/202
sbb:
وعن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال
: لا بأس بذلك، أول أمرها زنا حرام ، وآخره حلال
[23] Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu. Hal senada disebutkan dalam Al-Bayan 10/148
sbb: وإن
تزوج امرأة، وأتت
بولد لأقل من ستة أشهر من حين العقد.. انتفى عنه بغير لعان؛ لأن أقل مدة الحمل ستة أشهر
بالإجماع، فيعلم أنها علقت به قبل حدوث الفراش.
Dalam Mughnil Muhtaj 5/61:
تنبيه: سكت المصنف
عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا يجوز؛ لجواز كون
الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد ليس مني وإنما هو
من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.
[24]
At-Tamhid 15/47. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang bermadzhab
Hanbali berbeda pendapat dalam hal ini. Keduanya mendukung pendapat dari
madzhab Hanafi yakni menetapkan nasab anak ke ayahnya kalau memang si ayah
mengakuinya.
ذهب الحنفيّة
والشّافعيّة والثّوريّ إلى أنّ الزّانية لا عدّة عليها، حاملاً كانت أو غير حامل
وإذا تزوّج الرّجل امرأةً وهي حامل من الزّنا جاز نكاحه عند أبي حنيفة ومحمّد،
ولكن لا يجوز وطؤها حتّى تضع وذهب المالكيّة في قول، والحنابلة في رواية أخرى إلى
أنّ الزّانية تستبرأ بحيضة واحدة، واستدلّوا بحديث: » لا توطأ حامل حتّى تضع،
ولا غير ذات حمل حتّى تحيض حيضةً
[28] Ada pendapat yang mengutip pandangan madzhab Hanafi
bahwa dalam kasus ini anak dinasabkan pada suami ibunya walaupun ia bukan
ayah biologisnya. Sayangnya, saya tidak menemukan sumber aslinya.
[30] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/123; lihat juga
pendapat senada dalam Al-Istidzkar 7/171; Al-Hawi al-Kabir 8/162;
Zaadul Ma’ad 5/425 dan Majmuk Fatawa Ibnu Taimiyah 32/112.
0 Response to "Anak Zina dan Problematikanya"
Posting Komentar