Tanggapan Aceh Tidak Mesti Ikut Menag Tentang Awal Ramadhan

Menanggapi Tulisan Tgk Syamsul Rijal tentang "(Provinsi ACEH) MENGIKUTI KEPUTUSAN MENTERI AGAMA RI DALAM MENETAPKAN AWAL RAMADHAN. BOLEHKAH...??". Tanggapan ini  bersifat korektif atas hasil telaahan dari beberapa rujukan kutipan Nash kitab mu'tabar yang dijadikan sebagai sumber pemikirannya sehingga akan membenarkan pemahamannya dari satu sisi.

Karena merasa sangat penting, tulisan saya ini lumayan panjang dan dipersilahkan dikirim ke selain grup "ALUMNI DARUSSLAM" sebagai khazanah dan bahan dikusi. Sebaiknya dibaca ber-ulang-ulang agar mengenai substansinya.

Sengaja di kirim diakhir 10 Ramadhan.

Oleh HARMEN NURIQMAR (Pimp Dayah Buket eQra' dan Metode 77 al Haramein (metode cepat bisa membaca dan memahami kitab al Mahally), Yutube: buket eqra / abu meulaboh).
Sinopsis:

Pemahaman fiqhiah dalam konteks Rukyah tidak dapat dibenarkan seperti Nash-nash kitab yang sudah dikutib oleh Tgk Syamsul Rijal. Karena pendapat al Ashah yang merekomendasikan bahwa wajib beramal dinegri yang tidak terlihat hilal kepada negri terlihat hilal yang satu mathla'. Padahal masalah sebut (penetapan) rukyah, bila sudah dihakimi oleh pemerintah, maka pendapat al Ashah tidak boleh diamalkan karena Imam al Nawawi dalam al Majmu saat dalam pensyarahan hadist Kuraib dan Syaqiq sebagai sumber awal mafhum ikhtilaf mathooli' sangat tegas ucapannya:
اما الأحکام ففیه مساءل إحداها اذا ثبت کون یوم ثلاثین من شعبان فأفطروا مفطرین فثبت من أثناء النهار کونه من رمضان وجب قضاءه بلا خلاف
Artinya:
Didalamnya (syarah hadist Kuraib dan Syaqiq) ada beberapa hukum dan masalah. Salah satu hukumnya adalah apabila keadaan hari ke 30 Sya'ban masih tetap untuk mereka berbuka makan dan minum (belum berpuasa), maka (tiba-tiba) menetapkan (pemerintah) ditengah siang (ke 30 Sya'ban) adalah sudah masuk bulan Ramadhan, maka wajib qadha Puasa tanpa ada khilaf.

Kitab al Majmu' sebagai karya paling agung dan megah yang dapat beliau selesaikan sampai bab Bi' (jual beli), kemudian diteruskan sebahagiannya yang lain oleh Imam al Subki hingga bab qadhi, seterusnya diselesaikan bab berikutnya oleh Imam Najib al Muthi'iy, telah dijadikan sebagai rujukan dunia pendidikan al Azhar dan perguruan tinggi Islam belahan dunia lainnya termasuk di Indonesia.

Menurut Imam al Syarwani dalam syarahnya, Nash Imam Nawawi itu dijadikan sumber kutipan Imam Ibnu Hajar al Haitami dalam "tambih" beliau. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca secara seksama dibawah ini.

A. Tanggapan:
1.a.  Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin mengutib pendapat As Subki:
 " وقول السبکی یلزم من الرٶیة فی بلد الشرقیة الرٶیة فی بلد الغربیة منتقد لا یوافق علیه  "
Ungkapan Imam Assubki "Terlihat bulan di wilayah timur, lazim terlihat bulan di barat" adalah mendapat kritikan, (artinya perkataan itu) tidak sesuai".

Kritikan yang tidak sesuai, (منتقد لا یوافق علبه), adalah substansi rukyah di timur menjadi lazim rukyah di barat. Itu menjadi berlawanan karena tidak serta merta terrukyah dibarat sebab bisa jadi terhalang oleh suatu hal. Jadi, yang dikritik redaksi Imam Assubki bukan hukum.

Hal itu dapat dibuktikan dari perkataan Imam Ibnu Hajar al Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, untuk meluruskan perkataan Imam Assubki itu dan sekaligus dukungannya:
 "وقضيته أنه متى رئي في شرقي لزم كل غربي بالنسبة إليه العمل بتلك الرؤية وإن اختلفت المطالع ”
Perkataan Imam Assubki adalah kapan saja terlihat hilal ditimur, lazim setiap orang dibarat beramal (berpuasa atau berbuka) dengan sebab terlihat hilal ditimur, meskipun ikhtilaf mathaali'.

Imam Ibnu Hajar menggunakan kata "beramal" bukan lazim rukyah. Karena beliau menjelaskan lazim bermakna wujud bukan rukyah, artinya kalau sudah terlihat bulan di timur maka orang-orang di barat sudah boleh berpuasa. Sebab kata beliau adalah  المدار علیها لا علی الوجود     artinya, Substansi adalah rukyatul hilal bukan wujud hilal.
Jadi, esensial kritikan para ulama terhadap perkataan Imam Assubki adalah tidak sesuai atau saling menafikan antara makna rukyatul hilal di timur dangan lazim rukyah di barat. Artinya kata lazim rukyah itu bermakna rukyah hilal juga, inilah yang dianggap tidak sesuai atau berlawanan pada kenyataan, karena ada kemungkinan di barat nanti akan terhalang kelihatan bulan. Sedangkan di timur memang sudah terlihat hilal.

1.b. Untuk menghindari perselisihan perkataan Imam Assubki dengan pendapat الاصح karena dasar pemikiran ikhtilaf mathaali' berdasarkan hadist Kuraib, maka Imam Ibnu Hajar al Haitami mempertanggungkan hadist tersebut:
وعلى ذلك حمل حديث كريب فإن الشام غربية بالنسبة للمدينة
Berdasarkan (perkataan Imam Assubki tersebut) dipertanggungkan hadist Kuraib itu (terlihat hilal) di Syam/Syiria posisi barat  dikaitkan dengan Madinah (tidak terlihat hilal diposisi timur, tidak boleh mengikuti barat). Tuhfatul Muhtaj 282 Maktabah Syamilah. Sedangkan ungkapan Imam Assubki terlihat hilal di timur, maka orang dibarat lazim beramal puasa.

2.c. Ada tulisan "maka dari hamal tersebut dapat diketahui yang bahwa Imam Assubki sendiri tidak berpendapat melalui perkataanya pada nash no 1 (satu) untuk membolehkan mengikuti hasil rukyah yang terjadi di daerah yang tidak bersatu mathla' tetapi maksud perkataan tersebut sesuai dengan yang dikatakan mushannef I'aanathuthalibin tadi yang mana beliau menukilkannya dari tuhfah"..

Tanggapan:
Pertama: Imam Assubki tidak pernah meragukan pendapat sendiri, karena ungkapan beliau itu didukung oleh Imam Jalaluddin al Qulyubi, Imam Isnawi, Imam Ibnu Hajar al Haitami, Imam al Ramli dan banyak imam-imam handal lainnya.

Kedua: Imam Assubki dan Pendukungnya, merasa canggung ketika pendapatnya dikonfrontasi dengan kasus saksi palsu terhadap rukyah bila dihadapkan dengan keputusan para ahli hisap qath'iy yang bahwa rukyah sisaksi tersebut dapat dipastikan belum wujud hilal. Artinya, hitungan pasti itu dapat membatalkan rukyah bohong itu. Maka dalam ketegasan hukum hisab qath'iy lebih baik daripada hukum wujud rukyah dibarat dengan mengutip pendapat Imam Assubki. Dan syarat bisa diterima hisab qath'iy adalah kondisi masih mustahil rukyah, dan mustahil ada yang menerima syahadah kazab tersebut. Tuhfatul Muhtaj 382, Syamilah.

3. Penulis mengatakan  "Sedangkan untuk nash nomor 2  حکم الحاکم یرفع الخلاف adalah kaidah yang terbitnya dari nash yang terdapat dalam kitab tuhfatul muhtaj juz 3 hal 383".

Tanggapan:
Koreksi yang betul adalah qaedah kulliah. Bukan saja qaedah itu pada masalah ini tempatnya tapi berlaku dan menjadi pegangan ulama fiqih (Ijma') " bila setiap ada perselisihan diputuskan hakim maka hasilnya wajib disepakati".

Karena itu Imam Ibnu Hajar dalam tambihnya itu secara tidak langsung mengatakan "keputusan hakim/pemerintah tentang puasa atau berbuka adalah Ijma". Karena diqiaskan pada seorang rukyah wajib diikuti bila sudah diputuskan atau ditetapkan hakim. Jadi, tingkat kesamaannya adalah sama-sama diputuskan oleh hakim, baik seorang syahadah hilal dan begitu juga penetapan rukyah dengan ikhtilaf mathaali'.

4. Memperkuat maksud point ke 3 itu dipenghujung tambih beliau lebih tegas lagi hukumnya yaitu:
ومن مقتضى إثباته أنه يجب قضاء ما أفطرناه عملا بمطلعنا وأن القضاء فوري بناء على ما قاله المتولي وأقره المصنف
والإسنوي وغيرهما أنه إذا ثبت أثناء يوم الشك أي ثلاثي شعبان وإن لم يتحدث برؤيته أنه من رمضان لزمه قضاؤه فورا
Karena penetapan puasa oleh hakim / pemerintah, wajib qadha puasa (yaitu pada hari pertama yang sudah ditetapkan pemerintah) yang menurut mathla' kita tidak wajib berpuasa karena belum hilal.

Dan sesungguhnya qadha itu wajib segera dilakukan, menurut Imam al Mutawalli. Pendapat itu didukung oleh Imam al Nawawi, al Isnawi dan lain-lain, artinya, apabila pemerintah telah menetapkan puasa ditengah siang hari ke 30 Sya'ban meskipun pemerintah tidak membicarakan masalah terlihat hilal, wajib segera di qadha (setelah hari raya ke 4).

Ini menunjukan betapa pentingnya wajib mengikuti keputusan pemerintah dalam hal rukyah. Dalil-dalil puasa, dua hari raya disyariatkan kepada pemerintah untuk menanganinya:

a. Hadist at Tirmizi:  الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih menurut Imam Nawawi/المجموع).

Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri). العرف الشذی شرح سنن الترمذی  : ١٥١ حدیث٦٩٧.  Bukan dengan ormas atau golongan tertentu.

b. Hadist Imam atTabrani:   صَوْمُكُمْ يَوْم
َ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Berpuasalah ketika kalian semuanya berpuasa, dan berbukalah ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, dan Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238).

c. Hadist Abu Hurairah:
عن أبي هريرة قال «قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الفطر يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون :  حاشیة السندی علی سنن ابن ماجه
قوله (الفطر يوم تفطرون) وفي رواية الترمذي «الصوم يوم تصومون» والظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها دخل وليس لهم التفرد فيها بل الأمر فيها إلى الإمام والجماعة ويجب على الآحاد اتباعهم للإمام والجماعة وعلى هذا فإذا رأى أحد الهلال ورد الإمام شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور ويجب عليه أن يتبع الجماعة في ذلك
Saya tidak menterjemahkan hadsit, hanya maksudnya saja: Semua urusan Puasa dan 2 Hari Raya tidak boleh dilakukan perorangan atau masing-masing, tetapi urusan itu diserahkan pada pemerintah pusat (الامام), dan wajib mengikuti pemerintah. Karena itu, apabila seseorang melihat hilal namun pemerintah menolak kesaksian itu, maka dia tidak boleh menetapkan sesuatupun sebagai haknya. Namun dia tetap wajib mengikuti pemerintah.

d. Hadist 'Aisyah:
Ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah (yang sudah ditetapkan pemerintah). ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:
النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس
“An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444).

5. a. Kata penulis dalam kitab Tsabatul Kutub hal 69:
من شروط نقض حکم القاضی کون حکم غیر المتبحر مخالفا لمعتمد مذهب امامه لانه لم یرق لرتبة المقلد العم

b. Perkataan Bughyatul Mustarsyidin hal 8
ویجب اتفاقا نقض قضاء القاضی و افتاء المفتی بغیر الراجح من مذهبه اذ من یعمل فی فتواه او عمله بکل قول او وجه فی المسالة و یعمل بما شاء من غیر نظر ترجیح و لا یتقید به جاهل خارق للاجماع ولا یتجوز للمفتی ان یفتی الجاهل المتمسک بمذهب الشافعی صورة بغیر الراجح منه

c. Nash Zarkasyi dalam al Mantsur fi al Qawa'id:
قالوا حکم الحاکم فی المساٶل المختلف فیها یرفع الخلاف وهذا مقید 

d. Dalam Ghayah Wushul hal 149 disebutkanab:
فان خالف الحکم نصا او اجماعا او قیاسا جلیا نقض لمخالفته الدلیل المذکور او حکم حاکم بخلاف اجتهاده بان قلد غیره نقض لمخالفته اجتهاده وامتناع تقلیده فیما اجتهد فیه او حکم حاکم بخلاف نص امامه ولم یقلد غیره من الأءمة او قلده ولم یجز لمقلد امام تقلید غیره وسیأتی بیان ذللک نقض حکمه لمخالفته نص امامه الذی هو فی حقه لالتزامه تقلیده کالدلیل فی حق المجتهد 

Ada 2 hal yang penting dicermati:
1.Jawaban ke 5 yang terdiri dari point (a) sampai (d) adalah diperuntukkan untuk kasus Peradilan ( القضاء ) atau persoalan sengketa, seperti persoalan mua'malah, munakahat, jarimah (kriminal) dan lain-lain, artinya kasus seperti itu wajib memenuhi 5 rukun berdasarkan Nash-Nash para ulama. Rukun tersebut adalah:

1. Hakim (orang yang diberikan tugas mengadili)
2. Hukum (putusan)
3. Mahkum bih (hak sebuah keputusan)
4. Mahkum 'Alaih (ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan)
5. Mahkum lah (penggugat, berarti ada yang digugat)

Jadi, kutipan kutipan nas fiqh yang ada pada point ke 5 itu diperuntukkan / dipertanggungkan ke kasus persengketaan atau alqdha.

2. Sebenarnya point ke 5 yang terdiri dari huruf a sampai d itu tidak baku (غیر مطلق), artinya, seorang hakim tetap diberi peluang boleh bertaqlid kepada pendapat  المفضول (lemah), namun hakim harus meyakini bahwa pendapat yang dia taqlid lebih baik dari pendapat kuat.

Nash fiqih yang mentarjih itu dua orang  معظم الفقهاء: yaitu Imam an Nawawi dan Imam al Rofi'i:
لكن المشهور الذي رجحاه جواز تقليد المفضول مع وجود الفاضل، ولا ينافي ذلك كونه عاميا جاهلا بالأدلة؛ لأن الاعتقاد لا يتوقف على الدليل لحصوله بالتسامح ونحوه
 (تحفة المحتاج فی شرح المنهاج)

Namun sudah terkenal bahwa Imam Nawawi dan Imam al Rafi'i telah memperkuat yaitu hakim boleh bertaqlid pendapat lemah walau ada pendapat kuat, dan adanya pendapat kuat tidak menafikan hakim bertaqlid pendapat lemah yang awam dan tidak mengetahui dalil-dalil. Karena keyakinan itu tidak perlu dalil  sebab sesuatu itu bisa dihasilkan dengan arif dan bijak dan seumpamanya.

Nash Ushul Fiqh:
المختار جواز تقليد المفضول) من المجتهدين (لمعتقده غير مفضول) ، بأن اعتقده أفضل من غيره أو مساويا له)
Menurut pendapat terpilh: Boleh bertaqlid pendapat lemah dari mujtahid, karena yang diyakini itu tidak lemah, artinya meyakini sesuatu (المفضول) itu lebih baik dari yang lain atau sama dengan yang lain. (Ghayatul Wushul fii syarhil Lubbil Uushul-159 (المکتبة الشاملة).

Lain halnya rukyah, tidak memiliki kasus diatas, paling ada 4 kriteria yaitu hakim, hukum, mahkum bih dan mahkumlah (penggugat) dalam hal ini syara'.Jadi tidak memenuhi carat tersebut.

Karena perkara puasa dan haji  terkait ibadah kebersamaan sangat rentan terjadi fitnah pada masyarakat sebab terhalang hak-hak mereka terutama waktu berlebaran, yang satu tetangga tidak bisa bermaafan dengan tetangga lain karena belum berlebaran akibat tidak ikut keputusan pemerintah, termasuk penggunaan mesjid antara duluan berlebaran dengan yang belum berlebaran, dan banyak kasus lainnya. Pernah saya lakukan study kasus di beberapa gampong atau desa (tidak layak disebutkan disini) pada tahun 2012 dan 2013 berkembang ucapan-ucapan miris dan penghinaan terhadap sesama, Na'uzubillah minzaalik.

Untuk menghindari fitnah ini maka pemerintah berkewajiban mengatasinya. Sehingga Imam al Syarbaini dalam Hasyiahnya sangat tegas penyampaikannya yaitu untuk menghindari fitnah wajib mengikuti pemerintah.
وإنما نبهت على ذلك لعموم البلوى بهذا في زماننا بصري
Dan sesungguhnya saya memberitahukan tentang itu (rukyah ditetapkan pemerintah) karena terjadi fitnah di mana-mana.

Maka Imam al Syarwani di dalam hasyiahnya tegas menempatkan hakim yang dimaksud dalam tambih Imam Ibnu Hajar itu adalah:
ثم محل ما ذكر حيث صدر الحكم من متأهل أو غير متأهل نصبه الإمام عالما بحاله
Maksud yang telah disebutkan (tentang penetapan rukyah) adalah hakim harus ahli, atau tidak ahli namun hakim agung itu di angkat langsung oleh Imam (president) yang tahu akan tanggung jawabnya.

6. Kesimpulan penulis setelah menyimpulkan nash dari point 5a, 5b, 5c, dan 5d (yaitu: Maka dari beberapa nukilan diatas dapat dijelaskan yang bahwa seoarng hakim apabila ia belum mencapai derajat seorang mujtahid tarjih maka ia mesti menetapkan hukum sesuai dengan pendapat yang paling kuat dalam mazhabnya dan dilarang keras dst...).

Bantahan saya point ke enam ini adalah bahwa tidak terkait nukilan-nukilan nash kitab dengan penetapan pemerintah terhadap Ramadhan, Syawal dan Haji karena 3 perkara ini wajib ditangani pemerintah sesuai hadist yang lalu.

Namun kesimpulan penulis tersebut dapat dibenarkan pada kasus persengketaan, ada penggugat, orang yang digugat dan gugatan, karena kalau dilihat dari contoh nash-nash fiqih tersebut hanya berkisar pada masalah muamalah, munakahat atau jarimah.

7. Penulis mengatakan bahwa pemerintah INDONESIA melalui kementrian agama dalam menetapkan Ramadhan,  Syawwal dan Zulhijjah menggunakan metode mathla' wilayatul hukmi (hanys berlaku untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang metode tersebut tidak termasuk dalam pendapat kuat dari mazahab-mazhab mu'tabarah (mazhab yang 4). Karena menurut pendapat Jumhur (Hanafi, Maliki dan Hambali), apabila terlihat hilal di salah satu belahan dunia maka seluruh dunia mesti mengikutinya. Dan seterusnya...

Tanggapan:
Ada 3 alasan Istilah mathla' wilayatul hukmi itu harus diakui:

1. Pemerintah Indonesia menggunakan istilah itu berdasarakan teritorial kewenangan Indonesia terhadap jangkauan hukumnya. Artinya mempunyai batas dalam wilayh hukum Indonesia.

2. Istilah itu sama sekali tidak menafikan makna Ikhtilaf al mathaali'. Karena melihat jangkaun arah garis khatulistiwa Indonesia sudah melewati beberapa Negara asian lainnya. Sama halnya seperti berwudhu dengan menyapu sebahagian kepala menurut Imam Syafii, tidak menafikan keseluhan kepala menurut Imam Hanafi. Artinya, wajib sebahagian kepala, berarti boleh sekalian kepala, atau dengan kata lain:
 ذکر من لوازمه ما یراد بکله

3. Pada saat pemerintah Indonesia memutuskan satu Ramadhan, Syawal dan Haji tidak melarang belahan dunia lainnya untuk ikut Indonesia, dipersilahkan beramalnya. Artinya, keputusan itu ada mengandung pendapat muktabar dari Hanafi, Maliki dan Hambali.

4. Pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali masih dalam tahab Lazim beramal, belum tsubut dari pemerintah.

8. Kesimpulan penulis, bahwa penetapan awal Ramadhan oleh menteri agama RI tidak berlaku wiliayah ACEH apabila rukyahnya tidak terjadi dalam satu mathla'  dengan wilayah ACEH karena tidak ada satupun pendapat kuat dalam mazhab muktabarah yang dilakukan menteri agama RI.

Tanggapan ini dapat dijawab pada kesimpulan penutup.

B. Study Perpusakaan
1. Imam Syafii sama sekali tidak menyinggung tentang ikhtilaf matholi untuk dijadikan standard hukum mazhabnya bagi umat islam beribadah diawal Ramadhan, Syawwal dan Haji. Didalam kitab alUm, dan alBuwaithi yang konsep dasar pembentukan hukum langsung dengan Hadist dan Ayat-ayat. Namun hadist Kuraib yang menjadi inspirasi dasar terjadi ikhtilaf matholi' tidak ditemukan dalam kitab-kitab beliau. Pertanyaannya, apakah beliau tidak menarik mencantumkan hadist itu, atau seperti kata Imam Ibnu Munzir (murid Imam al Buwaithi) bahwa tentang rukyah Imam Syafii sepakat dengan Imam mazhab lainnya yaitu Hanafi, Maliki dan Hambali. Karena dua guru Imam Syafii itu sudah jelas rukyahnya secara menyeluruh.

Kalau tidak sepakat, tentu Imam Syafii akan membantah pendapat Imam Malik dan Hanafi bila beliau mempunyai konsep seperti hadist Kuraib, dan mustahil bagi Imam Syafii tidak mengetahui hadist itu. Dari gambaran itu ada kemungkinan benar apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Munzir.

Sisi lain dilihat masa hidup Ibnu Munzir hanya berselang tahunan dengan hidup Imam Syafii ada kemungkinan betul apa yang disampaikan beliau. Artinya, Imam Syafii pada masa itu mengakui rukyah sebagaimana rukyah Imam lain. Namun tidak dibukukan karena kasusnya sudah ma'ruf. Ini analisa saya melihat tingkat keilmuan beliau sudah dianggap mujtahid mazhab.

Namun Imam al Nawawi membatah komentar Ibnu Munzir karena belum diketahui secara tertulis pendapat Imam Syafii itu.

2. Imam al Nawawi mengembangkan konsep iktilaf mathooli' berdasarkan hadist Kuraib setelah dikembangkan oleh generasi ke 4 setelah 400 tahun wafat Imam Syafii yaitu Abu Ishak al Syeirozy (Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdullah al Syeirozy) wafat 472 H, dalam karya besarnya yaitu: المهذب فی الفقه الامام الشافعی ), artinya, selama 400 tahun mulai dari Imam Syafii dan berikut murid-muridnya sampai ke generasi ke 4 sebelum tiba pada masa Imam Abu Ishaq sebagai penemu Iktilaf mathooli', mereka berpuasa, 1 Syawal dan haji bersama pemerintah atau sendiri-sendiri?

Kalau mereka tidak mengikuti pemerintah pada masa itu karena berbeda ikhtilaf mathooli', pertanyaanya, apa dasar hukum mereka, sementara dalam buku-buku mereka tidak ditemukan kata ikhtilaf mathooli' atau kata lain yang tujuannya sama atau hadist Kuraib sebagai pedoman mereka dalam mengambil kebijakan diluar keputusan pemerintah.

Dari study perpuustakaan ini, dapat digambarkan bahwa mulai pada masa periode Imam al Syafii dan 400 tahun kemudian para ulama Syafiiyah tetap mengikuti pemerintah dalam hal rukyah dan haji.

C. Abuya Doktor, Abuya Jamal dan Abuya Serambi Mekkah
Pada bulan September tahun 2010 saya ikut duduk bersama dengan Abuya Prof, Abuya Jamal dan Abuya Serambi Mekkah di rumah Abuya Prof di Banda Aceh, ketika itu sedang membicarakan masalah karomah atau tidaknya Abu Ibrahim Woyla. Abuya Prof menjawab pertanyaan Abuya Jamal dengan kata "tentang Abu Ibrahim keramat atau tidak itu al mastur" kata Abuya Prof. Menjelang makan siang sampailah pembicaraan pada masalah rukyah. Kesimpulan menurut ke 3 ulama ini, bahwa kalau sudah ditetapkan pemerintah wajib diikuti walaupun berbeda mathooli'. Saya tidak mengutarakan alasan mereka, panjang sekali kalau ditulis.

D. Rukyah Abuya Syekh H Muda Waly.
Mengapa Darussalam termasuk pelopor rukyah puasa Ramadhan, Syawal ? Karena kondisi pemerintahan Indonesia mulai tahun 1945 - 1965 belum terkendali dengan baik, terutama gangguan penjajahan dan berikutnya tumbuhnya idiologi PKI dan puncaknya terjadi G30S PKI. Pemerintah pada masa itu tidak maksimal untuk mengatur tentang rukyah, termasuk haji.

Pemerintah mulai konsetrasi tentang Rukyatul Hilal pada Tahun 1970. Hasil ini setelah saya ajukan berberapa pertanyaan dengan Dirjen Binmas Islam Kementrian Agama Islam di Jakarta Pada tahun 2012.

Karena itu Abuya Syekh H Muda Waly saat itu menggunakan pendapat الاصح (terkuat) dalam mazhab Imam Syafi'i yaitu pendapat yang sudah ditash-hihkan oleh Imam Nawawi, artinya negri yang berdekatan dan satu mathla' wajib mengikuti negri yang sudah terlihat hilal. Menurut keyakinan saya, Abuya menggunakan pendapat itu selama pemerintah tidak menetapkan tentang rukyah, sesuai hadist Syaqiq setelah menerima surat dari Umar.

F. Kesimpulan:
1. Menurut mazhab Syafi'i tentang 1 Ramadhan, 1 Syawal dan Haji wajib mengikuti pemerintah karena sudah dijelaskan dalam al Majmu' :
واما الأحکام ففیه مساءل إحداها اذا ثبت کون یوم ثلاثین من شعبان فأفطروا مفطرین فثبت من أثناء النهار کونه من رمضان وجب قضاءه بلا خلاف

Artinya:
Didalamnya (syarah hadist Kuraib dan Syaqiq) ada beberapa hukum dan masalah. Salah satu hukumnya adalah apabila keadaan hari ke 30 Sya'ban masih tetap untuk mereka berbuka, makan dan minum (belum berpuasa), maka (tiba-tiba) menetapkan (pemerintah) ditengah siang (ke 30 Sya'ban) adalah sudah masuk bulan Ramadhan, maka wajib qadha Puasa tanpa ada khilaf.

Yang dimaksud dengan Tsabata pada Nash Imam Nawawi adalah penetapan Ramadhan oleh pemerintah.

Nash al Majmu' itu membicarakan dalam konteks Imam Nawawi mencarahkan hadist Syaqiq dan Kuraib tentang Ikhtilaf Matholi'.

Berdasarkan Nash itu dapat mematahkan pendapat al Ashah selama pemerintah menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan Haji. Penjelasan ini sekaligus menjawab ponit ke 8 dari uraian dan kesimpulan penulis sebelumnya.

2. Pasti terjadi fitnah bila tidak mengikuti keputusan pemerintah karena terganggu hak-hak ummat, terutama tentang penguasaan mesjid, waktu melakukan kunjungan silaturrahmi ke tetangga, dan banyak hal lainnya. Bukti ini setelah berturut-turut pada tahun 2012 dan 2013 menjelang puasa dan setelah hari raya, saya melakukan penelitian di beberapa kampung yang ada di Kab Aceh Barat.

3. Menghindari fitnah hukumnya wajib, sedangkan memperuncing khilafiah yang akibatnya saling klaim, komplain dan menghujat adalah haram.

4 Maafkan saya, dan terimakasih. والله أعلم

0 Response to "Tanggapan Aceh Tidak Mesti Ikut Menag Tentang Awal Ramadhan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel