Hukum Dan Dalil Berqurban Untuk Orang Lain

Qurban untuk orang lain, baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal

Oleh Tgk Alizar Usman

Berikut pendapat ulama mengenai qurban untuk orang lain, yang masih hidup atau yang sudah meninggal, antara lain :

1.      An-Nawawi, dalam Minhaj al-Thalibin mengatakan :

“Tidak melakukan qurban untuk orang lain yang masih hidup dengan tanpa izinnya dan tidak untuk orang yang sudah meninggal jika tidak mewasiatkannya.”


Qalyubi dalam mengomentari perkataan an-Nawawi di atas, yaitu ketidakbolehan qurban untuk orang lain yang masih hidup, mengecuali qurban wali dari hartanya sendiri untuk orang-orang yang berada dibawah pengampuannya, maka ini hukumnya sah.[1]


2.      Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :

“Namun demikian bagi siwali yaitu ayah atau kakek, tidak lainnya, boleh melaksanakan qurban untuk mauliyahnya (yang diwalikannya) dari hartanya sendiri.”[2]


3.      Berkata Qalyubi :

“disunatkan dari harta seseorang, qurban untuk anaknya, tidak sunat  untuk janin”.[3]


4.      Berkata Ibrahim al-Bajury :

“Tidak boleh melaksanakan qurban untuk orang lain tanpa seizinnya kecuali qurban untuk ahli baitnya atau wali dari hartanya untuk mauliyahnya ataupun imam (pemimpin negara) dari baitulmal untuk kaum muslim. Adapun dengan seizinnya walau untuk orang yang sudah meninggal adalah boleh”.[4]


5.      Berikut keterangan Khatib Syarbaini dalam Mughni Muhtaj [5] :

-   Jika seseorang menyembelih kambing untuk dirinya dan kerabatnya atau untuk dirinya dan memperkongsikan orang lain dalam hal pahalanya, maka itu boleh. Atas dua masalah ini dipertempatkan hadits Muslim yang berbunyi ;

أنه صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين وقال اللهم تقبل من محمد وآل محمد ومن أمة محمد

-          Tidak ada qurban untuk orang lain yang masih hidup dengan tanpa izinnya, karena  qurban adalah ibadah. Asalnya, ibadah tidak boleh dilakukan untuk orang lain kecuali yang ada dalilnya, lebih-lebih lagi dengan tanpa izin. Namun demikian ini ada beberapa pengecualian, yaitu :

a.       qurban seseorang untuk kerabatnya. Ini menghasilkan sunat kifayah, meskipun kerabatnya itu tidak memberi izin

b.      qurban imam (pemimpin) dari harta baitulmaal untuk kaum muslimin

c.       qurban wali dari hartanya untuk orang dibawah pengampuannya, seperti anak-anak, orang gila dan yang lainnya yang berada dibawah pengampuannya

-          Tidak ada qurban untuk orang yang sudah meninggal apabila tidak pernah mewasiatnya karena firman Allah : وأن ليس للإنسان إلا ما سعى .Apabila ada mewasiatnya, maka dibolehkan.

-          Ada pendapat yang mengatakan sah qurban untuk orang yang sudah meninggal, meskipun tidak pernah diwasiatkan. Karena itu termasuk dalam katagori sadaqah. Bersadaqah adalah sah untuk mayat dan bermanfa’at.


Berkata ar-Rafi’i  :

“Satu kambing tidak dijadikan qurban kecuali untuk satu orang. Tetapi apabila melakukan qurban oleh satu orang dari ahli bait, maka datang syi’ar dan sunnah bagi sekalian mereka.”


Selanjut beliau mengatakan :

“Atas ini dipertempatkan hadits yang diriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW melakukan qurban dengan dua ekor kambing, pada ketika itu Rasulullah bersabda :


اللهم تقبل من محمد وآل محمد

Sekelompok ulama lain, diantaranya pengarang Kitab “iddah dan Syaikh Ibrahim al-Maruruzy menempatkan hadits ini dengan makna tasyrik (berkongsi) dalam hal pahala.[6]


Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab disebutkan :

“Ashabina (Sahabat kita) mengatakan : “Apabila tidak melakukan qurban sehingga keluar waktunya, apabila qurban itu sunat, maka tidak lagi dilakukan qurban itu, bahkan pelaksanaan qurban untuk tahun itu hilang. Jika dilaksanakan pada tahun kedua dalam waktunya, maka qurban itu jatuh untuk tahun kedua tersebut, bukan untuk tahun pertama. Dan jika qurban tersebut nazar, maka wajib dilakukan qurban itu.”[7]


Berkata Al-Taqiyuddin al-Damsyiqy al-Syafi’i:

“Tidak boleh qurban untuk orang sudah meninggal berdasarkan pendapat yang lebih sahih kecuali orang yang meninggal itu ada mewasiatkannya. Namun demikian boleh menggantikannya menyembelih qurban yang telah ditentukannya dengan cara nazar sebelum dia meninggal dunia.”[8]


Di bawah ini beberapa hadits berkenaan dengan qurban untuk orang lain, yaitu :

1. Hadits

عن حنش عن علي أنه كان يضحي بكبشين أحدهما عن النبي صلى الله عليه وسلم والآخر عن نفسه فقيل له فقال أمرني به يعني النبي صلى الله عليه وسلم فلا أدعه أبدا هذا حديثٌ غريبٌ

Artinya : : Dari Hanasy dari Ali, sesungguhnya Ali melaksanakan qurban dengan dua kambing salah satunya untuk Nabi SAW  dan satu lagi untuk dirinya. Maka beliau ditanyai, beliau berkata : “Sesunggguhnya Nabi SAW pernah memerintahkannya kepadaku.  Maka aku tidak akan meninggalkannya selamanya. Hadits ini gharib. (H.R. at-Turmidzi) [9]


Dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab disebutkan hadits ini diriwayat oleh Abu Daud, al-Turmidzi dan al-Baihaqi. Berkata al-Baihaqi :

“Jika hadits ini shahih, maka ia menjadi petunjuk atas sah qurban untuk mayat.”[10]

         

2.    Hadist Aisyah :


أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمر بكبش أقرن يطأ في سواد ويبرك في سواد وينظر في سواد فأتي به فقال لها يا عائشة هلمي المدية ثم قال اشحذيها بحجر ففعلت ثم أخذها وأخذ الكبش فأضجعه ثم ذبحه ثم قال باسم الله اللهم تقبل من محمد وآل محمد ومن أمة محمد ثم ضحى به

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW meminta seekor domba bertanduk, yang berjalan, berlutut dan melihat dalam kehitaman (warna kulitnya hitam) lalu dibawakan untuk disembelih sebagai kurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah) : Wahai Aisyah, bawakan pisau, kemudian beliau berkata : Tajamkanlah (asahlah) dengan batu. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi SAW mengabil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan : Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad, kemudian menyembelihnya (Riwayat Muslim)[11]


Ar-Ramli mengatakan : “Adapun hadits اللهم هذا عن محمد وأمة محمدdipertempatkan maksudnya berkongsi dalam pahalanya bukan pada qurban”. Berdasarkan penafsiran Ar-Ramli, dapat dipahami maksud hadits tersebut bahwa Rasulullah berdo’a mudah-mudahan qurban itu juga mendapat pahalanya kepada kerabat beliau. [12]


Kesimpulannya

1.      Qurban adalah ibadah. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak boleh diganti oleh orang lain.

2.      Tidak boleh berqurban untuk orang lain yang masih hidup  tanpa ada izin dari orang tersebut kecuali :

a. qurban seseorang untuk kerabatnya. Ini menghasilkan sunat kifayah, meskipun kerabatnya itu tidak memberi izin

b.      qurban imam (pemimpin) dari harta baitulmaal untuk kaum muslimin

c.       qurban wali dari hartanya untuk orang dibawah pengampuannya, seperti anak-anak, orang gila dan yang lainnya yang berada dibawah pengampuannya

3.      Dibolehkan seseorang menyembelih kambing untuk dirinya dan kerabatnya atau untuk dirinya dan memperkongsikan orang lain dalam hal pahalanya.

4.      Tidak ada qurban untuk orang yang sudah meninggal apabila tidak pernah mewasiatnya. Dalam Mazhab Syafi’i ada satu pendapat (wajh) yang mengatakan boleh qurban untuk orang yang sudah meninggal meskipun tidak ada wasiat

5.      Pelaksanaan qadha hanya atas qurban wajib karena nazar, tidak ada qadha atas  qurban sunat







[1] An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 255

[2] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. VII, Hal. 344, Perkataan Ibnu Hajar ini dapat juga dilihat pada al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 331

[3] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,Indonesia, Juz. IV, Hal. 249

[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 297

[5] Khatib Syarbaini, Mughni Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 285, 292 dan 293

[6] An-Nawawi, Majmuk’ Syarah Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, hal. 276

[7] An-Nawawi, Majmuk’ Syarah Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, hal. 281

[8] Al-Taqiyuddin al-Damsyiqy al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, Darul Khair, Damsyiq, Hal. 528

[9] At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi,Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 27, No. Hadits : 1528

[10] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII, Hal. 382

[11] Imam Muslim, Shahih Muslim,Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1557, No. hadits : 1967

[12] Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, , Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, Hal. 133

0 Response to "Hukum Dan Dalil Berqurban Untuk Orang Lain"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel